Senin, 19 Desember 2011

[ durasi full ] KH. Zainuddin MZ - Akhirat

KONDISI UMAT ISLAM SAAT INI

Kondisi umat saat ini
Islam adalah sistem yang diridhai oleh Allah Swt. Mengatur setiap senti bahkan mili kehidupan manusia.
Islam turun sebagai rahmatan lil’alamin (rahmat bagi seluruh alam). Penyempurna dari bangunan yang telah berdiri sebelumnya. Bangunan yang dibawa oleh salah satu utusan Allah Swt. Yakni Ibrahim as. Belumlah sempurna, masih banyak lubang lubang yang harus ditambal disana sini. Kemudian ditambah lagi oleh Rasul rasul selanjutnya sepeninggal Beliau as. Sampai disempurnakan saat datangnya Rasulullah Muhammad Saw.
Manusia pada dasarnya memiliki fitrah untuk menyembah Allah Swt. Dalam surat Ar-rum ayat 30 sudah sangat jelas sekali dijelaskan tentang fitrah manusia.
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui,
Namun iblis bersama pasukannya tidak akan tinggal diam, karena kesombongannya mereka akan menggoda manusia dari berbagai sisi, dari depan, samping dan belakang. Mereka tidak akan hanya duduk duduk saja , sampai mereka mendapatkan apa yang menjadi keinginnannya, yaitu menyesatkan umat ini dari jalan yang haq ke jalan yang batil.
“yang dilaknati Allah dan syaitan itu mengatakan: “Saya benar-benar akan mengambil dari hamba-hamba Engkau bahagian yang sudah ditentukan (untuk saya), dan aku benar-benar akan menyesatkan mereka, dan akan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka dan akan menyuruh mereka (memotong telinga-telinga binatang ternak), lalu mereka benar-benar memotongnya, dan akan aku suruh mereka (merubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka merobahnya”. Barang siapa yang menjadikan syaitan menjadi pelindung selain Allah, maka sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata. (04:118-119)”
Syaitan tidak akan pernah berhenti untuk menyesatkan umat manusia dari jalan yang lurus dan benar, mereka senantiasa akan menjadi penggoda, penghasut, pembisik setiap kejahatan kejahatan yang akan dilakukan manusia.
Inilah yang menyebabkan pada setiap umat muncul suatu perpecahan, ada yang benar benar menjaga keaslian ajaran yang di bawa penyeru pada masanya dan ada yang berpaling dari ajaran penyeru pada masanya. Seperti samiri pada masa Nabi Musa as. Samiri membuat patung sapi untuk disembah, patung sapi yang bisa mengeluarkan bunyi. Sehingga pada saat itu, umat menduga bahwa sapi itu adalah tuhannya. Namun ada juga orang orang yang memang benar-benar mempertahankan dan menjaga keaslian yang dibawa oleh Penyerunya pada saat itu.
Melihat genersasi dongeng, ya, kita hanya bisa mengatakannya dongeng, karena sungguh luar biasa sekali apa yang dilakukan oleh generasi generasi pendahulu Islam, mereka membangun kejayaan dari kekuatan aqidah, kekuatan ikatan hati yang begitu dalam dengan Allah Swt. Mereka bersabar tatkala mendapatkan ujian, hinaan. Mereka serahkan segalanya hanya pada Allah Swt. Cukuplah Allah yang menjadi penolong bagi mereka. Subhanallah, Maha Suci Allah,, mereka benar benar menyerahkan kehidupannya hanya untuk Allah Swt.
“sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah……”
Mereka sadar bahwa dirinya hanyalah untuk Allah Swt. Mereka telah meyakini bahwa jual belli terbaik adalah dengan Allah Swt.
Masih kita ingat betapa mulianya Mushab bin umair yang meninggalkan kenikmatan dunia, meninggalkan harta orang tuanya yang begitu berlimpah hanya untuk memeluk Islam.dia diusir oleh ibunya, dihilangkan hak akan harta orang tuanya, tidak diberi uang jajanlah kalojaman kita. Yang jadi pertanyaan, Apakah kita pada zaman ini sanggup melakukannya?
Ingatlah satu hadist Nabi Saw.
Dari Tsauban, ia berkata bahwa Rasulullah SAW telah bersabda, ”Akan terjadi masa di mana umat-umat di luar Islam berkumpul di samping kalian, wahai umat islam. Sebagaimana berkumpulnya orang-orang yang menyantap hidangan.”
Lalu, seorang sahabat bertanya, ”Apakah kami pada saat itu sedikit, wahai Rasulullah?”
Beliau menjawab, ”Tidak. Bahkan, ketika itu, jumlah kalian banyak. Akan tetapi, kalian ketika itu bagaikan buih di lautan. Ketika itu, Allah hilangkan dari musuh-musuh kalian rasa segan dan takut terhadap kalian dan kalian tertimpa penyakit wahn.”
Sahabat tadi bertanya lagi, ”Wahai Rasulullah, apa yang baginda maksud dengan wahn itu?” Rasulullah menjawab, ”Cinta dunia dan takut mati.” (HR Abu Dawud).
Sebenarnya umat islam, saat ini, punya potensi yang sangat besar, bisa dilihat dari jumlahnya yang sangat banyak, namun banyaknya umat ini tidaklah lantas menjadikan ummat yang besar ini kuat. Mereka bagaikan buih dilautan. Tiada bermakna, tidak ada lagi orang yang segan bahkan takut dengan mereka. Zaman ini, dimana ummat ini jumlahnya sangat banyak, hanya menjadi bahan olok-olokan kaum kaum kafir, mereka tidak menyadarinya, karena syaithan telah melalaikan manusia dari mengingat Allah Swt.
Kecintaan ini muncul seiring tumbuhnya usia manusia, kenapa seiring dengan tumbunya usia? Karena manusia akan merasakan kenikmatan kenikmatan dunia yang baru. Semakin hari mereka akan merasakan kenikmatan kenikmatan yang bertambah. Inilah mengapa semakin lama, manusia akan semakin cinta pada dunia.
Setelah merasakan kenikmatan yang begitu menumpuk mereka terlena dengan kenikmatan di dunia,, manusia lupa akan kenikmatan yang abadi kenikmatan di surga. Kenikmatan dalam jannah-Nya.
Kondisi ini memang sangat menyedihkan, dimana Ummat Islam sudah terlena dengan dunia yang menjadikan mereka ingin hidup selama-lamanya, mereka enggan berjuang, enggan berdakwah, enggan merasakan pahitnya perjuangan. Lemah mentalnya, lemah daya saingnya, apakah pantas manusia yang menghambakan hidup untuk dunianya meminta jannah-Nya?
Kondisi yang memprihatinkan ini memang sudah akut. Penyakit yang menyebar ini memang sudah sangat parah. Muslim yang menganggap ibadahnya bisa memasukannya kedalam surga, padahal bukan karena ibadahnyalah dia masuk surga, melainkan karena Rahmat dari Allah Swt. Maka, pantaskah ia meminta jannah-Nya? Padahal enggan dia memperjuangkan kebenaran yang hakiki!

SIAPAKAH ORANG YANG BERUNTUNG ITU?

Mari kita menengok dua kitab tafsir yang ditulis oleh ulama kontemporer, Tafsir al-Maraghi karya Syaikh Ahmad ibn Mushthafa al-Maraghi rahimahullah dan at-Tafsir al-Munir fi al-‘Aqidah wa asy-Syari’ah wa al-Manhaj karya Syaikh Dr. Wahbah ibn Mushthafa az-Zuhaili hafizhahullah, pada surah al-Mu’minuun ayat 1 – 11. Dari ayat-ayat tersebut, akan jelas bagi kita siapakah orang-orang yang beruntung.
Menurut dua kitab tersebut –menjelaskan makna ayat di awal-awal surah al-Mu’minuun–, Allah ta’ala menetapkan tujuh sifat orang-orang yang beruntung. Berikut sifat-sifat tersebut beserta sedikit tambahan penjelasan dari saya untuk lebih mendekatkan pemahaman.
1. Beriman (قد أفلح المؤمنون)
Yaitu beriman kepada Allah ta’ala, Rasul-rasul-Nya dan hari akhir. Ini sifat pertama yang dimiliki oleh orang-orang yang beruntung, sekaligus menafikan keberuntungan hakiki bagi orang-orang yang tidak beriman kepada Allah ta’ala, Rasul-rasul-Nya dan hari akhir.
2. Khusyu’ dalam shalat (الذين هم في صلاتهم خاشعون)
Yaitu merendahkan diri di hadapan Allah ta’ala seraya merasa takut akan mendapat azab-Nya. Al-Hakim meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat dengan mengangkat pandangannya ke langit, kemudian turun ayat ini, setelah itu Rasulullah mengalihkan pandangan beliau ke tempat sujud.
Khusyu’ adalah amalan hati dan tampak dari tenangnya anggota tubuhnya. Khusyu’ dalam shalat wajib hukumnya dilihat dari sisi:
a) Untuk mentadabburi apa yang ia baca, sebagaimana firman Allah ta’ala dalam surah Muhammad ayat 24: {أفلا يتدبرون القرآن أم على قلوب أقفالها}.
b) Untuk mengingat Allah dan takut akan siksanya, sebagaimana firman Allah ta’ala dalam surah Thaha ayat 14: {وأقم الصلاة لذكري}.
c) Orang yang shalat sedang ber-munajah dengan Tuhannya, dan orang yang lalai (tidak khusyu’) tidak bisa dikatakan sedang ber-munajah.
Khusyu’ dalam shalat, menurut mayoritas ulama, bukanlah syarat wajib dalam shalat dari sisi taklif hukum syara’, melainkan syarat untuk mendapatkan pahala dan mencapai ridha Allah ta’ala. Artinya, shalat yang tidak khusyu’ tetap sah, namun tidak berpahala.
3. Menjauhkan diri dari hal-hal yang tidak berguna (والذين هم عن اللغو معرضون)
Yaitu meninggalkan segala hal yang haram, makruh, serta perkara-perkara mubah yang tidak ada kebaikan di dalamnya. Termasuk meninggalkan perkataan dusta, senda gurau yang berlebihan dan caci maki, serta meninggalkan seluruh kemaksiatan dan segala perkataan dan perbuatan yang tidak ada manfaatnya.
Hal ini sebagaimana firman Allah ta’ala dalam surah al-Furqan ayat 72:
وإذا مروا باللغو مروا كراما
Artinya: “Dan jika mereka melewati orang-orang yang melakukan hal-hal yang tidak berguna, mereka berlalu saja (tak menghiraukan orang-orang yang melakukan hal-hal yang tidak berguna tersebut) dengan tetap menjaga kehormatan mereka.”
4. Menunaikan zakat (والذين هم للزكاة فاعلون)
Az-Zuhaili memaparkan bahwa ada perbedaan pendapat di kalangan mufassir memahami ayat ke-4 pada surah al-Mu’minuun ini, yaitu tentang pengertian الزكاة di ayat ini. Apakah yang dimaksud adalah zakat harta, padahal zakat harta baru diwajibkan di Madinah, sedangkan ayat ini makkiyah. Jika dipahami zakat harta, bisa jadi kewajiban zakat sudah ada sejak di Makkah, namun nishab dan batasan tertentunya baru ada di Madinah. Bisa juga maksudnya adalah zakah an-nafs (pembersihan diri) dari syirik dan berbagai kotoran. Bisa juga maksudnya adalah zakat harta sekaligus zakat an-nafs.
Bagaimanapun, pembersihan harta dengan zakat harta maupun pembersihan diri dari syirik dan kotoran (الدنس) merupakan kewajiban bagi seorang muslim.
5. Menjaga kemaluan (والذين هم لفروجهم حافظون إلا على أزواجهم أو ما ملكت أيمانهم فإنهم غير ملومي)
Yaitu menjaga kemaluannya dari yang haram, tidak melakukan dan tidak mendekati perbuatan yang haram tersebut, seperti perbuatan zina dan liwath. Mencukupkan diri dengan yang halal saja, yaitu istri yang telah dihalalkan oleh Allah melalui akad nikah (maksimal 4 orang), serta budak-budak yang dimiliki (catatan: saat ini budak sudah tidak ada lagi).
Barangsiapa yang mencukupkan diri dengan yang halal, maka tidak ada celaan dan dosa atasnya. Sebaliknya, siapapun yang mencari selain yang halal tersebut, maka ia telah melampaui batas dan melanggar hukum Allah, sebagaimana yang dinyatakan oleh Allah ta’ala dalam surah al-Mu’minuun ayat 7:
فمن ابتغى وراء ذلك فأولئك هم العادون
Artinya: “Barangsiapa yang mencari selain yang halal tersebut, maka sesungguhnya mereka termasuk orang-orang yang melampaui batas.”
Menurut az-Zuhaili ayat di atas merupakan dalil atas haramnya mut’ah dan onani.
6. Menjaga amanah dan janji (والذين هم لأماناتهم وعهدهم راعون)
Yaitu jika diberi amanah tidak berkhianat, dan jika berjanji ditepati. Menunaikan amanah dan menepati janji merupakan sifat orang-orang yang beriman, sebaliknya sifat khianat dan suka melanggar janji merupakan sifat orang munafiq. Hal ini disampaikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana yang diriwayatkan oleh Syaikhan, at-Tirmidzi dan an-Nasai dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berikut ini:
آية المنافق ثلاث: إذا حدث كذب، وإذا وعد أخلف، وإذا ائتمن خان
Artinya: “Ciri orang munafiq ada tiga: jika berbicara ia berdusta, jika berjanji ia melanggar, dan jika diberi amanah ia berkhianat.”
Juga sebagaimana firman Allah ta’ala dalam surah al-Anfaal ayat 27:
يا أيها الذين آمنوا لا تخونوا الله والرسول وتخونوا أماناتكم
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengkhianati Allah dan Rasul, dan janganlah kalian mengkhianati amanah-amanah yang dipercayakan kepada kalian.”
Amanah dan janji yang dimaksud ini mencakup seluruh amanah dan janji yang dipercayakan kepada manusia, baik dari Tuhannya maupun dari sesama manusia, seperti pelaksanaan taklif-taklif  syari’ah, titipan harta dan pelaksanaan berbagai akad.
7. Menjaga shalat (والذين هم على صلواتهم يحافظون)
Yaitu melaksanakannya dengan sebaik-baiknya, sempurna rukun dan syaratnya serta mengerjakannya sesuai waktunya. Diriwayatkan dalam Shahihayn, Ibn Mas’ud radhiyallahu ‘anhu bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘يا رسول الله، أي العمل أحب إلى الله؟’, kemudian Rasulullah menjawab, ‘الصلاة على وقتها’, Ibn Mas’ud bertanya lagi, ‘kemudian apa?’, Rasulullah menjawab, ‘بر الوالدين’, Ibn Mas’ud bertanya lagi, ‘kemudian apa?’, Rasulullah menjawab, ‘الجهاد في سبيل الله’.
Allah subhanahu wa ta’ala membuka penyebutan sifat-sifat orang yang beruntung di surah al-Mu’minuun ini dengan shalat, dan menutupnya juga dengan shalat. Ini menunjukkan teramat besarnya keutamaan ibadah ini. Hal ini juga ditunjukkan oleh Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam riwayat Ahmad, Ibn Majah, al-Hakim, dan al-Baihaqi dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu berikut ini:
استقيموا ولن تحصوا، واعلموا أن خير أعمالكم الصلاة، ولا يحافظ على الصلاة إلا مؤمن
Artinya: “Istiqamahlah kalian, dan jangan menghitung-hitungnya, dan ketahuilah bahwa sebaik-baiknya amal kalian adalah shalat, dan tidak ada yang menjaga shalat kecuali seorang mukmin.”
Setelah menyebutkan sifat-sifat orang yang beruntung di atas, Allah ta’ala menyebutkan pahala untuk mereka, yang terekam dalam surah al-Mu’minuun ayat 10 dan 11.
أولئك هم الوارثون، الذين يرثون الفردوس هم فيها خالدون
Artinya: “Mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi, yaitu orang-orang yang mewarisi Firdaus, mereka kekal di dalamnya.”
Allah menetapkan balasan berupa surga Firdaus bagi orang-orang yang memiliki sifat-sifat terpuji yang telah disebutkan sebelumnya. Dalam Shahihayn, diriwayatkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang surga Firdaus:
إذا سألتم الله الجنة، فاسألوه الفردوس، فإنه أعلى الجنة وأوسط الجنة، ومنه تفجر أنهار الجنة، وفوقه عرش الرحمن
Artinya: “Jika kalian meminta balasan surga kepada Allah, maka mintalah Firdaus. Karena ia adalah surga yang tertinggi dan pusatnya surga, darinya terpancar sungai-sungai di surga, dan di atasnya adalah ‘arsy dari ar-Rahman.”
Subhanallah. Semoga Allah ta’ala memudahkan dan memberi taufiq kepada kita agar memiliki sifat-sifat yang terpuji di atas.

Totalitas Dalam Islam

Masyarakat Indonesia, walaupun sebagian besar beragama Islam, namun hanya sebagian kecil dari mereka yang berislam secara total. Sebagian besarnya mencampur adukkan Islam dengan berbagai adat istiadat yang sangat tidak Islami. Dengan justifikasi bahwa Islam yang berasal dari Arab harus diakulturalisasikan dengan budaya daerah setempat, akhirnya lahirlah Islam kejawen dengan berbagai macam ritual yang tidak Islami. Model Islam seperti ini juga muncul di daerah-daerah lain di Indonesia.
Model keberislaman lain yang juga banyak dianut oleh masyarakat Indonesia adalah hanya menjadikan Islam sebagai agama ritual belaka, tak menganggapnya sebagai panduan bagi seluruh kehidupan manusia. Inilah yang dikenal dengan paham sekulerisme, paham yang memisahkan agama dengan kehidupan.

Pertanyaannya kemudian, bagaimana harusnya keberislaman kita, apakah seperti Islam kultural (untuk menunjukkan ajaran Islam yang dicampur adukkan dengan adat istiadat yang bukan berasal dari Islam) atau Islam sekuler (Islam hanya di masjid dan mushalla, sedangkan di kantor, rumah dan pasar Islam tidak dipakai), atau seperti apa? Untuk menjawab pertanyaan ini, saya akan mengutip penjelasan Imam Ibnu Katsir rahimahullah terhadap surah al-Baqarah ayat 208 dalam kitab Tafsir beliau.
Berikut ayat 208 dari surah al-Baqarah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
Imam Ibnu Katsir mengutip pernyataan dari Ibnu ‘Abbas, Mujahid, Thawus, adh-Dhahhak, ‘Ikrimah, Qatadah, as-Sudi, Ibnu Zaid ketika menafsirkan kata (السلم) mereka sepakat bahwa artinya adalah Islam (الإسلام). Adh-Dhahhak, Ibnu ‘Abbas, Abu al-‘Aliyah dan ar-Rabi’ ibn Anas menafsirkan kata (السلم) dengan keta’atan (الطاعة).
Sedangkan kata (كـافة) diartikan dengan keseluruhan (جميعا). Ini pendapat Ibnu ‘Abbas, Mujahid, Abu al-‘Aliyah, ‘Ikrimah, Rabi’, as-Sudi, Muqatil Ibn Hayyan, Qatadah dan adh-Dhahhak. Kemudian kalimat (و لا تتبعوا خطوت الشيطن) yang biasanya diterjemahkan dengan “dan janganlah kalian ikuti langkah-langkah syaithan”, ditafsirkan oleh Imam Ibnu Katsir dengan “laksanakanlah keta’atan dan jauhilah apa-apa yang diperintahkan syaithan kepada kalian”. Dan syaithan memerintahkan untuk melakukan perbuatan jahat (السوء) dan keji (الفحشاء) sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam surah al-Baqarah ayat 169.
Dalam tafsir surah al-Baqarah ayat 168, Imam Ibnu Katsir mengutip perkataan Mujahid dan as-Sudi, yang menafsirkan kalimat (و لا تتبعوا خطوت الشيطن), mereka mengatakan bahwa semua kemaksiatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala merupakan bagian dari langkah-langkah syaithan.
Ayat 208 ini ditutup dengan peringatan dari Allah subhanahu wa ta’ala bahwa syaithan adalah musuh yang nyata bagi kita (إنه لكم عدو مبين). Imam Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsir surah al-Baqarah ayat 168 menegaskan bahwa kita harus berpaling dari syaithan dan waspada terhadapnya.
Dari tafsir surah al-Baqarah ayat 208 ini kita bisa memahami bahwa Allah ‘azza wa jalla memerintahkan kita untuk berislam secara keseluruhan, tidak setengah-setengah. Kita diperintahkan untuk ta’at kepada seluruh aturan Allah subhanahu wa ta’ala baik berupa perintah yang harus kita laksanakan maupun larangan yang harus kita tinggalkan, dalam seluruh aspek kehidupan, inilah yang dimaksud dengan kalimat (ادخلوا في السلم كـافة).
Kemudian Allah juga memperingatkan kita untuk menjauhi langkah-langkah syaithan, yaitu berupa seluruh kemaksiatan kepada Allah ‘azza wa jalla. Yang dimaksud dengan kemaksiatan adalah meninggalkan segala kewajiban yang diperintahkan Allah subhanahu wa ta’ala bagi kita atau melakukan hal-hal yang dilarang oleh-Nya. Acuannya adalah al-Qur’an dan as-Sunnah, bukan pendapat masyarakat.
*****

Timbangan di Hari Kiamat

Aqidah Islamiyah telah meyakinkan kita bahwa kehidupan di dunia bukanlah fase kehidupan terakhir bagi manusia. Ada kehidupan setelah kehidupan dunia yang kekal abadi. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
يأيها الذين ءامنوا اتقوا الله ولتنظر نفس ما قدمت لغد ، واتقوا الله ، إن الله خبير بما تعملون
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan.” (QS. Al-Hasyr [59]: 18)
Allah subhanahu wa ta’ala juga telah berfirman:
وعد الله المنفقين والمنفقت والكفار نار جهنم خلدين فيها ، هي حسبهم ، ولعنهم الله ، ولهم عذاب مقيم
Artinya: “Allah menjanjikan neraka jahannam bagi orang-orang munafik laki-laki dan perempuan serta orang-orang kafir, mereka kekal di dalamnya. Cukuplah neraka itu bagi mereka, dan Allah melaknati mereka, dan bagi mereka azab yang kekal.” (QS. At-Taubah [9]: 68)

‘Aqidah Islamiyah pun telah meyakinkan kita bahwa Allah akan menunjukkan ke-Maha Adil-annya di yaumil aakhir kelak. Tentang hal ini, saya akan sedikit menyampaikan tafsir surah Al-A’raaf ayat 8 dan 9.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
والوزن يومئذ الحق ، فمن ثقلت موزينه فأولئك هم المفلحون . ومن خفت موزينه فأولئك الذين خسروا أنفسهم بما كانوا بأيتنا يظلمون
Artinya: “Timbangan pada hari itu ialah haqq, maka barangsiapa berat timbangannya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung. Dan barangsiapa yang ringan timbangannya, maka mereka itulah orang-orang yang merugikan dirinya sendiri, disebabkan mereka selalu mengingkari ayat-ayat Kami.” (QS. Al-A’raaf [7]: 8-9)
Dalam tafsir al-Qurthubi, Imam al-Qurthubi mengutip pernyataan dari adh-Dhahhak dan al-A’masy, menafsirkan kata al-wazn dengan al-‘adl dan al-qadha. Maksudnya, pada hari kiamat keadilan (al-‘adl) dan peradilan (al-qadha) Allah ta’ala itu benar adanya. Pendapat ini senada dengan pendapat Mujahid (lihat tafsir Ibnu Abi Hatim).
Imam Ibnu Katsir menjelaskan bahwa timbangan (al-wazn) tersebut adalah atas amal perbuatan manusia. Maksudnya, Allah akan mengukur amal perbuatan manusia di dunia ketika hari kiamat. Ini sejalan dengan pendapat yang mengatakan bahwa al-wazn itu adalah peradilan (al-qadha). Dari sini bisa kita pahami bahwa Allah akan menimbang amal perbuatan manusia di dunia, apakah ketika di dunia ia menjalankan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya atau malah sebaliknya.
Imam Ibnu Katsir juga menjelaskan bahwa makna al-haqq adalah Allah ta’ala tidak menzhalimi siapapun. Berbeda dengan peradilan di dunia, peradilan Allah di hari akhir akan sangat adil dan tidak menzhalimi siapapun. Yang taat akan mendapat kebahagiaan, yang kufur dan pelaku maksiat besar akan mendapat siksa.
Imam Mujahid menjelaskan frase “faman tsaqulat mawaaziinuh” yang artinya “maka barangsiapa yang berat timbangannya” maksudnya adalah yang berat timbangan kebaikannya. Jadi frase ini adalah untuk orang-orang yang lebih banyak amal shalihnya dibanding amal salahnya.
Fa-ulaaika humul muflihuun, artinya merekalah orang-orang yang beruntung. Dan, keberuntungan di hari akhir adalah keridhaan Allah dan surga. Ibnu ‘Abbas menjelaskan frase ini dengan kalimat, “yaitu orang-orang yang mendapatkan apa yang mereka inginkan, dan selamat dari keburukan yang ingin mereka hindari” (silakan lihat di tafsir Ibnu Abi Hatim). Semoga Allah memasukkan kita ke dalam golongan orang-orang yang beruntung.
Lalu, bagi orang-orang yang ringan timbangan kebaikannya, mereka telah merugikan diri mereka sendiri. Maksudnya adalah orang-orang yang lebih banyak maksiatnya dibanding taatnya. Dalam surah al-Mu’minuun ayat 103, Allah dengan sangat jelas menyatakan bahwa orang-orang yang ringan timbangan kebaikannya akan kekal di jahannam.
ومن خفت موزينه فأولئك الذين خسروا أنفسهم في جهنم خلدون
Konteks surah al-Mu’minuun ayat 103 diatas adalah terhadap orang-orang kafir, sedangkan terhadap muslim yang ringan timbangan kebaikannya, mereka juga akan mendapatkan kerugian berupa siksa neraka, walaupun tak kekal seperti orang-orang kafir. Wallahu a’lam.
Mengapa mereka disiksa? Allah menyatakan, bimaa kaanuu biaayaatinaa yazhlimuun. Kata yazhlimuun, dalam tafsir al-Jalalayn, ditafsirkan dengan yajhaduun yang artinya mengingkari. Artinya, mereka disiksa karena keingkaran mereka terhadap ayat-ayat Allah subhanahu wa ta’ala dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Wallahu a’lam.
Semoga kita tidak termasuk orang-orang yang mengingkari ayat-ayat-Nya. Mari berusaha menjadi muslim yang taat, beraqidah yang lurus dan beramal shalih dengan mengikuti tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semoga Allah ta’ala memudahkan.

Ciri -ciri Orang bertaqwa

Pada postingan kali ini, saya akan mencoba menyampaikan beberapa ciri orang yang bertakwa berdasarkan surah al-Baqarah ayat 2 sampai 5. Tidak ada tujuan lain dari tulisan ini selain semoga kita bisa mencapai derajat taqwa dengan memahami dan mengamalkan ciri-cirinya.
Ayat ke-2 surah al-Baqarah menunjukkan peran Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa.
ذلك الكتب لا ريب فيه ، هدى للمتقين
Al-Kitab yang dimaksud adalah Al-Qur’an (silakan lihat tafsir Ibnu Katsir dan al-Baghawi. Dalam tafsir Ibnu Abi Hatim diriwayatkan bahwa al-Hasan dan Ibnu ‘Abbas juga menafsirkan al-Kitab yang dimaksud dalam ayat ini adalah Al-Qur’an).

Laa rayba fiih artinya tidak ada keraguan sedikitpun padanya bahwa Al-Qur’an ini berasal dari sisi Allah dan Al-Qur’an ini adalah haqq dan benar (lihat tafsir al-Baghawi). Pengertian ini sudah disepakati oleh para mufassir, baik dari kalangan shahabat maupun tabi’in (lihat tafsir Ibnu Katsir dan tafsir Ibnu Abi Hatim). Dari sini bisa kita pahami bahwa Al-Qur’an benar-benar berasal dari Allah, Tuhan pencipta alam semesta termasuk manusia. Apakah akal kita bisa mencapai kesimpulan bahwa Al-Qur’an benar-benar kalamullah? Jawabannya bisa. Silakan baca penjelasan lengkapnya di kitab Nizhamul Islam karya Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah (bagi yang ingin memiliki ebook ini, silakan download versi Arabnya disini dan versi terjemah Indonesianya disini).
Dari ayat ini kita juga bisa pahami bahwa isi Al-Qur’an adalah haq, semuanya merupakan kebenaran, walaupun maknanya ada yang qath’i (jelas dan hanya menunjuk satu makna) ada yang zhanni (perlu usaha yang keras untuk memahami maknanya, disinilah peran mufassir). Ayat ini sangat cukup sebagai hujjah untuk menunjukkan hukum Al-Qur’an adalah hukum yang terbaik bagi manusia. Mengapa? Pertama, karena Al-Qur’an merupakan kalamullah, firman Allah, Tuhan pencipta manusia yang tahu tetek bengek tentang manusia melebihi pengetahuan manusia sendiri. Kedua, karena semua isi Al-Qur’an adalah kebenaran, artinya semua yang bertentangan dengan Al-Qur’an adalah salah, dan hukum buatan manusia sekarang secara mendasar bertentangan dengan Al-Qur’an.
Hudan(l) lil muttaqin, petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa. Petunjuk apa? Petunjuk dari kesesatan, demikian menurut asy-Sya’bi (lihat tafsir Ibnu Abi Hatim). Artinya, Al-Qur’an adalah kompas agar setiap orang tidak terjatuh pada kesesatan. Ada juga yang mengartikan hudan sebagai nur (cahaya) tibyan (penjelasan). Ibnu Katsir menyatakan semua tafsir ini benar. Dalam ayat ini Allah mengkhususkan hudan hanya bagi orang-orang yang bertakwa sebagai penghormatan dan pemuliaan bagi mereka serta penjelasan atas keutamaan mereka, demikian menurut Abu Rauq dalam tafsir al-Qurthubi. Menurut Hasan al-Bashri, definisi muttaqin adalah orang-orang yang menjauhi hal-hal yang diharamkan Allah atas mereka dan menjalankan semua yang diwajibkan atas mereka (lihat tafsir Ibnu Katsir).
Disini perlu saya tambahkan, walaupun dari ayat ini dipahami bahwa Al-Qur’an adalah petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa saja, namun berdasarkan ayat-ayat lain (misal surah al-Baqarah ayat 185), jelas Al-Qur’an adalah petunjuk bagi seluruh manusia, tentu bagi yang mau menerima petunjuk tersebut.
Baik, sekarang kita masuk ke ayat ke-3 yang menunjukkan ciri-ciri orang yang bertaqwa.
الذين يؤمنون بالغيب ويقيمون الصلوة ومما رزقنهم ينفقون
Ciri pertama, yu’minuuna bil ghaib, beriman terhadap yang ghaib. Menurut Ibnu ‘Abbas, yu’minuun artinya yushdiquun (membenarkan). Abu al-‘Aliyah menjelaskan makna yu’minuuna bil ghaib artinya beriman kepada Allah, Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, Hari Akhir, surga-Nya, Neraka-Nya dan pertemuan dengan-Nya, serta beriman dengan kehidupan setelah kematian dan Hari Kebangkitan. ‘Atha menyatakan barangsiapa beriman kepada Allah maka sesungguhnya dia telah beriman kepada yang ghaib. Ibnu ‘Abbas menyatakan bahwa bil ghaib maknanya terhadap apa saja yang datang dari Allah. Zaid ibn Aslam menyatakan bil ghaib artinya bil qadr (ketentuan Allah). Menurut Ibnu Katsir, semua yang disebutkan ulama salaf diatas adalah benar, dan makna ghaib mencakup semuanya (lihat tafsir Ibnu Katsir). Dari ciri pertama ini bisa kita pahami bahwa ciri orang yang bertaqwa adalah orang-orang yang beriman terhadap semua hal ghaib yang diinformasikan oleh Allah ta’ala dalam al-Qur’an al-Karim dan as-Sunnah al-Mutawatirah.
Ciri kedua, yuqiimuunash shalah, mendirikan shalat. Mendirikan shalat menurut Ibnu ‘Abbas maksudnya adalah mendirikan shalat dengan semua fardhunya. Sedangkan menurut Qatadah, mendirikan shalat artinya memelihara waktu-waktunya, wudhu, ruku’ dan sujudnya. Muqatil ibn Hayyan menjelaskan definisi mendirikan shalat adalah menjaga waktu-waktunya, menyempurnakan thaharah, menyempurnakan ruku’ dan sujudnya, membaca Al-Qur’an didalamnya, serta bertasyahud dan membaca shalawat atas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (lihat tafsir Ibnu Abi Hatim). Dari penjelasan para mufassir diatas, bisa kita simpulkan bahwa yuqiimuunash shalah artinya mendirikan shalat dengan melaksanakan semua rukunnya dan menyempurnakannya dengan semua sunnah sejak thaharah sampai selesai shalat. Inilah ciri ke-2 orang-orang yang bertaqwa.
Ciri ketiga, mimmaa razaqnaahum yunfiquun, menafkahkan sebagian harta yang telah Allah rizkikan kepada mereka. Menurut Ibnu ‘Abbas maksudnya adalah zakat wajib, sedangkan menurut Ibnu Mas’ud maksudnya adalah Nafkah seorang laki-laki pada keluarganya, karena itu adalah afdhalun nafaqah. Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dinar yang engkau nafkahkan fi sabiilillah (maksudnya perang di jalan Allah), dinar yang engkau nafkahkan untuk membebaskan budak, dinar yang engkau shadaqahkan kepada orang miskin, dan dinar yang engkau nafkahkan untuk keluargamu, dari semuanya itu yang pahalanya paling besar adalah yang engkau nafkahkan untuk keluargamu.” (shahih Muslim: 995). Silakan lihat penjelasan hal ini dalam tafsir al-Qurthubi.
Menurut Qatadah, seperti dikutip oleh al-Baghawi dalam tafsirnya, makna yunfiquun adalah yunfiquuna fii sabiilillah wa thaa’atih. Tafsir Qatadah ini cukup luas dan menunjukkan semua nafkah atas harta yang berorientasi ketaatan kepada Allah ta’ala tercakup dalam ayat ini. Berarti ini juga mencakup tafsir dari Ibnu ‘Abbas dan Ibnu Mas’ud tanpa perlu mempertentangkannya. Inilah pendapat yang saya pegang. Wallahu a’lam bishshawwab.
Mari kita masuk ke ayat ke-4 dari surah al-Baqarah.
والذين يؤمنون بما أنزل إليك وما أنزل من قبلك وبالأخرة هم يوقنون
Ciri keempat, alladziina yu’minuuna bimaa unzila ilayka wa maa unzila min(g) qablik, beriman terhadap kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kepada Rasul-rasul sebelum beliau. Apa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Al-Qur’an, tidak ada perbedaan pendapat dalam hal ini. Sedangkan kitab-kitab yang diturunkan sebelum Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, Qatadah menyebutkan ia adalah Taurat, Zabur dan Injil (lihat Tafsir Ibnu Abi Hatim). Ibnu ‘Abbas berkata tentang maksud dari alladziina yu’minuuna bimaa unzila ilayka wa maa unzila min(g) qablik, adalah membenarkan apa yang datang kepadamu (wahai Muhammad, yaitu Al-Qur’an) berasal dari Allah, dan membenarkan kitab-kitab yang ada pada Rasul-rasul sebelummu, mereka tidak membedakan kitab-kitab tersebut dan tidak mengingkari bahwa semua kitab tersebut datang dari rabb mereka.
Tambahan dari saya, bagi kita umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, kita wajib membenarkan semua kitab yang diturunkan Allah kepada para Rasul sebelum Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik secara umum maupun spesifik pada kitab-kitab yang jelas disebutkan dalam al-Qur’an, seperti Taurat, Zabur dan Injil, namun kita hanya wajib mengikuti syariat yang ada di dalam Al-Qur’an sedangkan syariat pada kitab-kitab sebelum Al-Qur’an tidak berlaku bagi kita.
Ciri kelima, bil aakhirati hum yuuqinuun, yakin dengan adanya akhirat. Menurut Ibnu ‘Abbas, maksud aakhirah adalah ba’ts, qiyaamah, surga, neraka, hisab dan mizan (lihat tafsir Ibnu Abi Hatim). Makna al-yaqiin adalah al-‘ilmu duuna asy-syakk (pengetahuan tanpa ada keraguan sedikitpun), demikian menurut al-Qurthubi. Dari sini kita bisa pahami, orang yang bertaqwa adalah orang yang yakin 100% akan adanya hari akhir, hari kebangkitan kembali seluruh manusia dan hari perhitungan seluruh amal manusia di dunia, apakah seseorang akan berada di surga ataukah di neraka. Keyakinan ini tentu akan menghasilkan ketaatan kepada seluruh perintah Allah ta’ala.
Inilah 5 ciri orang yang bertaqwa yang disebutkan di awal surah al-Baqarah. Dalam ayat-ayat lain dan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga disebutkan ciri-ciri lain dari orang yang bertaqwa, insya Allah, dengan izin Allah, nanti juga akan saya postingkan di blog ini. Semoga kita menjadi orang-orang yang bertaqwa. Amiin ya rabbal ‘aalamiin.
Sebagai penutup, mari kita simak ayat ke-5 dari surah al-Baqarah.
أولئك على هدى من ربهم وأولئك هم المفلحون
Mereka (orang-orang yang disebutkan dalam al-Baqarah ayat 3 dan 4), tetap berada dalam hudan dari rabb mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung. ‘Alaa hudan, artinya nuur, bayaan dan bashiirah dari Allah ta’ala, demikian menurut Ibnu Katsir. Sedangkan menurut al-Baghawi, ‘alaa hudan artinya rusyd, bayan dan bashiirah. Semuanya menunjukkan bahwa mereka berada dalam keutamaan dan selalu mendapatkan petunjuk dari Allah ta’ala. Wa uulaaika humul muflihuun, artinya mereka memperoleh apa yang mereka inginkan dan selamat dari keburukan yang ingin mereka hindari, demikian menurut Ibnu ‘Abbas (lihat tafsir Ibnu Abi Hatim). Menurut al-Baghawi, maksudnya adalah selamat dan berhasil, berhasil mendapatkan surga dan selamat dari api neraka. Inilah ganjaran bagi orang-orang yang bertaqwa dengan 5 ciri yang telah disebutkan diatas. Semoga kita mendapatkan kedudukan yang mulia ini dengan rahmat dari Allah subhanahu wa ta’ala.

Minggu, 06 November 2011

Doa Penutup Majelis Menghapus Dosa Majelis




Salah satu ciri utama orang bertaqwa ialah semangatnya untuk memohon ampun kepada Allah. Ia sangat menyadari jika dirinya sebagaimana manusia lainnya tidak luput dari dosa dan kesalahan. Maka Muttaqin senantiasa mencari jalan untuk selalu diampuni segenap dosanya oleh Allah. Bila ia tahu ada suatu amal-perbuatan yang dapat menghapus dosanya maka dengan segera ia akan kerjakan bila ia sanggup.



“Dan (Muttaqin juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.” (QS Ali Imran ayat 135)



Bila manusia sedang berkumpul biasanya mereka tidak lepas dari pembicaraan satu sama lain. Setiap kali manusia berkumpul lalu terlibat dalam suatu pembicaraan maka itu merupakan sebuah majelis. Setiap kali orang berkumpul banyak sekali hal yang bisa mereka bicarakan. Pembicaraan bisa berkisar dari hal-hal bermanfaat hingga hal-hal yang tidak bermanfaat.

Islam sebagai ajaran yang bersumber dari Allah Yang Maha Tahu dan Maha Mendengar sangat memperhatikan masalah majelis. Islam tidak membenarkan sekumpulan orang terlibat dalam pembicaraan yang sia-sia apalagi mengandung dusta dan kebatilan. Sehingga Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam mengkaitkan masalah kualitas pembicaraan seseorang dengan keimanan kepada Allah dan Hari Akhir.


Bersabda Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam: “Barangsiapa beriman kpd Allah dan Hari Akhir hendaklah bicara yang baik atau diam.” (HR Bukhari-Muslim)

Dalam suatu kesempatan Nabi shollallahu ’alaih wa sallam memberi nasihat sorang sahabat mengenai pentingnya menjaga lisan dari perkataan yang sia-sia apalagi munkar.


Dari Sufyan Abdullah Ats-Tsaqafy radhiyallahu ’anhu ia berkata: ”Aku berkata: “Ya Rasulullah, beritahukan kepadaku tentang sesuatu yang harus aku pelihara.” Beliau menjawab: “Katakanlah: ‘Rabbku Allah kemudian beristiqamahlah’.” Aku kembali bertanya: “Ya Rasulullah, apa yang engkau paling khawatirkan terhadap diriku?” Beliau lalu memegang lidahnya sendiri dan bersabda: “Ini (lisan)”. (HR Tirmidzi 2334)



Oleh sebab itu Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam mengajarkan ummatnya agar senantiasa mengakhiri setiap majelis –apapun bentuk majelisnya- dengan membaca do’a kaffaratul-majelis atau do’a penutup majelis. Sebab dengan demikian maka dosa-dosa pembicaraan yang dilakukan –sengaja maupun tidak- di dalam majelis tersebut akan dihapus oleh Allah melalui do’a tersebut.



Dari Abu Barzah Al-Aslami radhiyallahu ’anhu ia berkata: “Jika Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam hendak bangun dari suatu majelis beliau membaca: Subhanakallahumma wabihamdika asyhadu allaa ilaaha illa anta astaghfiruka wa atuubu ilaika “Maha Suci Engkau ya Allah dan segala puji bagiMu, aku bersaksi bahwa tiada ilah selain Engkau aku mohon ampun dan bertaubat kepadaMu". Seorang sahabat berkata: “Ya Rasulullah, engkau telah membaca bacaan yang dahulu tidak biasa engkau baca?” Beliau menjawab: “Itu sebagai penebus dosa yang terjadi dalam sebuah majelis.” (HR Abu Dawud 4217)


Sumber : http://www.eramuslim.com/suara-langit/ringan-berbobot/doa-penutup-majelis-menghapus-dosa-majelis.htm

Meraih Pahala dari Fitnah Harta dan Anak

Meraih Pahala dari Fitnah Harta dan Anak


Kirim Print
”Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu adalah fitnah dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (Al-Anfal: 28)

Terdapat dua ayat di dalam Al-Qur’an yang menyebut harta dan anak sebagai fitnah, yaitu surah Al-Anfal ayat 28 dan surah At-Taghabun ayat 15, “Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu adalah fitnah (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar”. Perbedaannya: pada surah Al-Anfal, Allah menggunakan redaksi pemberitahuan “ketahuilah”, sedangkan pada surah At-Taghabun menggunakan redaksi penegasan “sesungguhnya”. Namun ungkapan yang mengakhiri kedua ayat tersebut sama, yaitu “di sisi Allah-lah pahala yang besar”. Sehingga bisa dipahami bahwa fitnah harta dan anak bisa menjerumuskan ke dalam kemaksiatan, namun di sisi lain justru bisa menjadi peluang meraih pahala yang besar dari Allah swt. Dan makna yang kedua itulah yang dikehendaki oleh Allah, sehingga Allah mengingatkannya di akhir ayat yang berbicara tentang fitnah anak dan harta “dan di sisi Allah-lah pahala yang besar”.

Fitnah dalam kedua ayat ini bukan dalam arti Bahasa Indonesia, yaitu setiap perkataan yang bermaksud menjelekkan orang, seperti menodai nama baik atau merugikan kehormatannya. Tetapi fitnah yang dimaksud dalam konteks harta dan anak seperti yang dikemukakan oleh Asy-Syaukani adalah bahwa keduanya dapat menjadi sebab seseorang terjerumus dalam banyak dosa dan kemaksiatan, demikian juga dapat menjadi sebab mendapatkan pahala yang besar. Inilah yang dimaksud dengan ujian yang Allah uji pada harta dan anak seseorang. Fitnah di sini juga dalam arti bisa menyibukkan atau memalingkan dan menjadi penghalang seseorang dari mengingat dan mengerjakan amal taat kepada Allah, seperti yang digambarkan oleh Allah tentang orang-orang munafik sehingga Dia menghindarkan orang-orang beriman dari kecenderungan ini dalam firman-Nya, “Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi”. (Al-Munafiqun: 9). Rasulullah saw juga menyebut kedua kemungkinan ini dalam hadits Aisyah ra ketika beliau memeluk seorang bayi, ”Sungguh mereka (anak-anak) dapat menjadikan seseorang kikir dan pengecut, dan mereka juga adalah termasuk dari haruman Allah swt”.

Fitnah anak dalam arti bisa mengganggu dan menghentikan aktivitas seseorang pernah dirasakan juga oleh Rasulullah saw. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dan Abu Daud dari Abu Buraidah bahwa ketika Rasulullah saw sedang menyampaikan khutbahnya kepada kami, tiba-tiba lewatlah kedua cucunya Hasan dan Husein mengenakan baju merah sambil berlari dan saling kejar mengejar. Begitu melihat kedua cucunya, Rasulullah kontan turun dari mimbar dan mengangkat keduanya seraya mengatakan, ”Maha Benar Allah dengan firman-Nya, ”Sesungguhnya harta dan anak-anak kamu adalah fitnah”. Aku tidak sabar melihat keduanya sampai aku menghentikan ceramahku dan mengangkat keduanya”. Dalam konteks ini, Ibnu Mas’ud mengajarkan satu doa yang tepat tentang harta dan anak. Beliau mengungkapkan, ”Janganlah kalian berdoa, dengan doa ini, ”Ya Allah, lindungilah kami dari fitnah”. Karena setiap kalian ketika pulang ke rumah akan mendapati harta, anak dan keluarganya bisa mengandungi fitnah, tetapi katakanlah, ”ya Allah aku berlindung kepada engkau dari fitnah yang menyesatkan”.

Secara korelatif tentang fitnah harta dan anak dalam surah At-Taghabun, Imam Ar-Razi dalam At-Tafsir Al-Kabir menyebutkan, karena anak dan harta merupakan fitnah, maka Allah memerintahkan kita agar senantiasa bertaqwa dan taat kepada Allah setelah menyebutkan hakikat fitnah keduanya, ”Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu. Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung”. (At-Taghabun: 16). Apalagi pada ayat sebelumnya, Allah menegaskan akan kemungkinan sebagian keluarga berbalik menjadi musuh bagi seseorang, ”Hai orang-orang mukmin, sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (At-Taghabun: 14)

Sedangkan tentang fitnah harta dan anak dalam surah Al-Anfal, Sayyid Quthb menyebutkan korelasinya dengan tema amanah ”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui”. (Al-Anfal: 27), bahwa harta dan anak merupakan objek ujian dan cobaan Allah swt yang dapat saja menghalang seseorang menunaikan amanah Allah dan Rasul-Nya dengan baik. Padahal kehidupan yang mulia adalah kehidupan yang menuntut pengorbanan dan menuntut seseorang agar mampu menunaikan segala amanah kehidupan yang diembannya. Maka melalui ayat ini Allah swt ingin memberi peringatan kepada semua khalifah-Nya agar fitnah harta dan anak tidak melemahkannya dalam mengemban amanah kehidupan dan perjuangan agar meraih kemuliaan hidup di dunia dan di akhirat. Dan inilah titik lemah manusia di depan harta dan anak-anaknya. Sehingga peringatan Allah akan besarnya fitnah harta dan anak diiringi dengan kabar gembira akan pahala dan keutamaan yang akan diraih melalui sarana harta dan anak.

Lebih jauh, korelasi ayat di atas dapat ditemukan dalam beberapa ayat yang lain. Al-Qurthubi misalnya, menemukan korelasinya dengan surah Al-Kahfi: 46 yang bermaksud, “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan”, bahwa harta kekayaan dan anak wajar menjadi perhiasan dunia yang menetramkan pemiliknya karena pada harta ada keindahan dan manfaat, sedangkan pada anak ada kekuatan dan dukungan. Namun demikian kedudukan keduanya sebagai perhiasan dunia hanyalah bersifat sementara dan bisa menggiurkan serta menjerumuskan. Maka sangat tepat jika ayat “Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu adalah fitnah (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar. (At-Taghabun: 15) dan ayat “Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi”.(Al-Munafiqun: 9) menjadi pengingat jika kemudian terjadi harta dan anak justru menjauhkan pemiliknya dari Allah swt.

Berbeda dengan At-Thabari, ia memahami korelasi kontradiktif ayat ini dengan surah Ali Imran ayat 38, “Di sanalah Zakaria berdoa kepada Tuhannya seraya berkata: “Ya Tuhanku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa”. Menurut Ath-Thabari, secara tekstual ayat ini bisa dipahami bertentangan dengan ayat yang memberi peringatan akan kemungkinan bahaya dan fitnah yang ditimbulkan dari harta dan anak. Padahal nabi Zakaria sendiri berdoa agar dikaruniakan keturunan yang banyak. Maka pemahaman yang cenderung kontradiktif ini diluruskan sendiri oleh Ath-Thabari dengan mengemukakan bahwa anak yang di pohon oleh Zakaria adalah anak keturunan yang shaleh yang bisa memberi manfaat di dunia dan akhirat. Sedangkan yang dikhawatirkan adalah kriteria harta dan anak yang justru melalaikan dari mengingat Allah swt seperti yang Allah tegaskan dalam salah satu firman-Nya, “Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi”. (Al-Munafiqun: 9). Dalam konteks ini, Nabi Muhammad sendiri pernah mendoakan harta dan anak yang banyak kepada sahabat Anas bin Malik ra, “Ya Allah perbanyaklah untuknya harta dan anak, dan berkahilah setiap apa yang Engkau anugerahkan kepadanya”.

Demikian keseimbangan yang diajarkan oleh Allah swt dalam menyikapi fitnah harta dan anak yang menduduki posisi tertinggi dari titik lemah manusia. Harta dan anak memiliki potensi yang sama dalam menghantarkan kepada kebaikan atau menjerumuskan seseorang kepada dosa dan kemaksiatan. Sudah sepantasnya peringatan Allah dalam konteks fitnah harta dan anak senantiasa yang sering kita ingat karena hanya peringatan Allah yang mencerminkan kasih sayang-Nya yang layak untuk diingat, “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”. (At-Tahrim:6).

Rabu, 19 Oktober 2011

Iman yang Haq


Kita sebagai orang yang memeluk agama Islam tidak boleh berpuas diri dengan predikat seorang Muslim. Karena keislaman seseorang tidak cukup untuk dapat menurunkan pertolongan Allah dalam kehidupan kita di dunia. Keislaman juga belum tentu bisa menyelamatkan kita dari siksa api neraka. Hanya orang-orang yang beriman sejati yang mendapatkan semua janji2Nya yaitu kebahagian dunia dan akhirat.
Bagaimanakah kriteria atau ciri-ciri orang-orang beriman yang sering dipanggil Allah dengan mesra “…yaa ayyuhal ladzina aamanu…..” ? Allah yang Maha Pengasih telah menyebutkan di dalam Al Quran surat Al Anfal :2-4
Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal. (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezki (nikmat) yang mulia.
Dalam firman Allah SWT tersebut jelas sekali menyebutkan bahwa seorang mukmin yang Haq, yang benar-benar tulen, mempunyai ciri-ciri sebagai berikut>
1. Hatinya yang gemetar hatinya bila disebutkan Asma Allah
Gemetarnya bisa disebabkan karena banyak hal, karena kagum dan takluk pada Kebesaran Allah. Kebesaran dan Kemuliaan Dzat , Sifat maupun PerbuatanNya. Bisa juga karena takut terhadap siksa api neraka yang sangat pedih dan terbayangkan dosa dan kebodohan yang telah dilakukan. Bisa juga gemetar karena berharap karunia surga – dunia maupun akhirat-. Terkadang gemetar haru mengingat sifat Kasih Sayang dan PengampunNya ataupun gemetar hati karena melihat Kebesaran ciptaanNya.
Asma Allah yang disebutkan dalam Al Quran dan hadits biasa disebut dengan 99 Asmaul Husna (bahkan lebih dari itu) menunjukkan Sifat-Sifat Allah yang Agung yang wajib kita ketahui, fahami dan hayati maknanya. Pemahaman atas makna dan tafakkur pada ciptaan2Nya dan Kebesaran Asma-asma Allah itulah yang dapat menghantarkan seseorang pada “wajilat quluubukum”
2. Keimanannya bertambah bila dibacakan ayat-ayat Tuhan
Ayat dalam bahasa Arab artinya bukti. Orang-orang yang imannya tulen bila dihadapannnya dibacakan ayat Al Quran (dalil naqli) ataupun bukti aqli yang berupa demonstrasi Kebesaran Allah dalam penciptaan makhluk-makhlukNya maka bibirnyapun berucap “ Subhanallah…”. Bila membaca Al Quran yang menyebutkan tentang janji-janji Allah keimanannya bertambah, semangat hidupnya makin membara dan semakin giat beramal shalih.
Dan bila dia melihat Kebesaran Allah dalam penciptaan langit , buni dan jagad raya alam semesta maka diapun makin tunduk dan kagum pada Kuasa Allah. Bahkan ketika melihat betapa sempurna dan hebatnya pasukan-pasukan Allah yang berupa misalnya lebah lebah dan madu yang dihasilkan, maka diapun makin yakin dan kagum pada Allah.
Hari-hari orang beriman tidak pernah ada yang menjemukan. Setiap detik yang dilalui dipakai untuk “melihat” demonstrasi Kekuasaan Allah, bertafakkur dan kemudian bertasbih kepada Allah. Dan itu semua makin meningkatkan imannya.
3. Bertawakkal hanya kepada Allah
Bagi orang yang imannya Haq, tidak pernah ada rasa takut dan gentar menghadapi pernak-pernik dan badai di dalam kehidupan dunia. Ketergantungannya kepada Allah dan keyakinan bahwa Allah selalu menuntun dan melindunginya menjadikan langkahnya pasti menapaki roda kehidupan.
…. Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan baginya jalan keluar. dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. dan Barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah Mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.
Putus asa tidak ada dalam kamus hidupnya. Hidup dijalani dengan lapang dan mudah karena jalan keluar dalam tiap masalah, insya Allah ada. Dan rezeki juga sudah ditanggung oleh Allah Azza wa Jalla.
4. Mendirikan Shalat
Mereka ini adalah orang-orang yang gandrung shalat. Shalat menjadi obat segala masalah kehidupan. Persis seperti yang disabdakan junjungan kita Rasulullah SAW :
Apabila engkau mempunyai masalah maka shalat (sunnah) lah 2 rakaat” (HR Bukhari)
Mereka ini bukan sekedar melakukan shalat tapi mendirikannya. Menjaga rukun-rukunnya, waktunya, sunnah-sunnahnya dan juga kekhusyuannya. Shalat merupakan saat-saat yang indah bermunajat kepada Allah, mengadukan beban hidup, memohonkan kemudahan hidup di dunia dan juga kemuliaan hidup di akhirat. Shalat tidaklah menjadi beban bagi mereka bahkan shalat merupakan saat beristirahat dari keruwetan hidup. Dan tepatlah sabda Rasulullah saat menyuruh Bilal adzan dengan berkata : “Wahai Bilal, berilah istirahat kepada kita semua!”
Dan bukti mereka mendirikan shalat adalah akhlaknya di luar shalat. Mengapa ? Karena shalat itulah yang menghalangi mereka berbuat maksiat dan mungkar. Semakin baik mutu shalat maka semakin tinggilah akhlak seseorang
5. Menafkahkan rezeki yang dipunyai
Ciri terakhir seorang mukmin yang tulen adalah mudahnya dia bersedekah. Baginya harta karunia Allah yang didalamnya ada hak fakir miskin. Sedekah adalah tanda syukur kepada Allah kerena diberi kelapangan dalam harta. Tapi dia juga bersedekah dalam keadaan sempit karena jalan kemudahan akan datang dengan derasnya sedekah. Hati orang yang mukmin tidak terikat oleh harta yang dimiliki. Harta diletakkannya di tangan bukan di hati
Demikianlah ciri-ciri seorang mukmin yang Haq, yang tulen. Dan mukmin sejati inilah yang mendapatkan janji Allah yaitu kemuliaan derajat, pengampunan dosa-dosa dan rezeki yang halal dan berkah.
Semoga bahasan ini bisa menjadi jalan intropeksi bagi diri kita masing-masing. Apakah kita sudah mempunyai 5 ciri-ciri di atas ? Bila sudah, kita harus mensyukuri dan meminta Allah mengekalkan sifat-sifat mulia ini dalam diri kita. Bila kita belum memiliki 5 ciri ini maka kita perlu berusaha semaksimal mungkin agar kita bisa menjadi seorang mukmin sejati, yang dicintai Allahu Rabbi.
Ummu Alya

3 Cara Allah SWT Mengawasi


Karena taku didatangi pencuri, maka warga suatu perumahan menyewa penjaga atau hansip. Tetapi terkadang pencurian masih terjadi walau hansip sudah dibayar. Hal ini bisa terjadi bila hansip tersebut lengah atau ketiduran, sehingga si pencuri bisa melakukan aksinya. Hansip juga manusia!
Bagaimana dengan Yang Maha Mengetahui? Allah SWT mengawasi manusia 24 jam sehari atau setiap detik tidak ada lengah. Didalam melakukan pengawasan, ada 3 cara yang dilakukan Allah SWT:

1

Allah SWT melakukan pengawasan secara langsung. Tidak tanggung-tanggung, Yang Menciptakan kita selalu bersama dengan kita dimanapun dan kapanpun saja. Bila kita bertiga, maka Dia yang keempat. Bila kita berlima, maka Dia yang keenam (QS. Al Mujadilah 7). Bahkan Allah SWT teramat dekat dengan kita yaitu lebih dekat dari urat leher kita. qs-qaaf-16.gif
“Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” (QS. Qaaf 16)

2

Allah SWT melakukan pengawasan melalui malaikat.
qs-50-17.gif
“ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri.” (QS. Qaaf 17)
Kedua malaikat ini akan mencatat segala amal perbuatan kita yang baik maupun yang buruk; yang besar maupun yang kecil. Tidak ada yang tertinggal. Catatan tersebut kemudian dibukukan dan diserahkan kepada kita (QS. Al Kahfi 49).

3

Allah SWT melakukan pengawasan melalui diri kita sendiri. Ketika kelak nanti meninggal maka anggota tubuh kita seperti tangan dan kaki akan menjadi saksi bagi kita. Kita tidak akan memiliki kontrol terhadap anggota tubuh tersebut untuk memberikan kesaksian sebenarnya.
qs-36-65.gif
“Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan.” (QS. Yaasiin 65)
Kesimpulannya, kita hidup tidak akan bisa terlepas dimanapun dan kapanpun saja dari pengawasan Allah SWT. Tidak ada waktu untuk berbuat maksiyat. Tidak ada tempat untuk mengingkari Allah SWT. Yakinlah bahwa perbuatan sekecil apapun akan tercatat dan akan dipertanyakan oleh Allah SWT dihari perhitungan kelak.
Wallahu a’lam bish showab.

Selasa, 18 Oktober 2011

Doa Bisa Mengubah Taqdir

Doa Bisa Mengubah Taqdir

Dalam sebuah hadits Nabi shollallahu ’alaih wa sallam menjelaskan bahwa taqdir yang Allah ta’aala telah tentukan bisa berubah. Dan faktor yang dapat mengubah taqdir ialah doa seseorang.

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَرُدُّ الْقَضَاءَ إِلَّا الدُّعَاءُ وَلَا يَزِيدُ فِي الْعُمْرِ إِلَّا الْبِرُّ (الترمذي)

Bersabda Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam: “Tidak ada yang dapat menolak taqdir (ketentuan) Allah ta’aala selain do’a. Dan Tidak ada yang dapat menambah (memperpanjang) umur seseorang selain (perbuatan) baik.” (HR Tirmidzi 2065)


Subhanallah…! Betapa luar biasa kedudukan do’a dalam ajaran Islam. Dengan do'a seseorang bisa berharap bahwa taqdir yang Allah ta’aala tentukan atas dirinya berubah. Hal ini merupakan sebuah berita gembira bagi siapapun yang selama ini merasa hidupnya hanya diwarnai penderitaan dari waktu ke waktu. Ia akan menjadi orang yang optimis. Sebab keadaan hidupnya yang selama ini dirasakan hanya berisi kesengsaraan dapat berakhir dan berubah. Asal ia tidak berputus asa dari rahmat Allah ta’aala dan ia mau bersungguh-sungguh meminta dengan do’a yang tulus kepada Allah ta’aala Yang Maha Berkuasa.


قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ وَأَنِيبُوا إِلَى رَبِّكُمْ وَأَسْلِمُوا لَهُ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ ثُمَّ لَا تُنْصَرُونَ

“Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah ta’aala mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi).” (QS Az-Zumar 53-54)

Demikianlah, hanya orang yang tetap berharap kepada Allah ta’aala saja yang dapat bertahan menjalani kehidupan di dunia betapapun pahitnya taqdir yang ia jalani. Ia akan senantiasa menanamkan dalam dirinya bahwa jika ia memohon kepada Allah ta’aala dalam keadaan apapun, maka derita dan kesulitan yang ia hadapi sangat mungkin berakhir dan bahkan berubah.


Sebaliknya, orang yang tidak pernah kenal Allah ta’aala dengan sendirinya akan meninggalkan kebiasaan berdo’a dan memohon kepada Allah ta’aala. Ia akan terjatuh pada salah satu dari dua bentuk ekstrimitas. Pertama, ia akan mudah berputus asa. Atau kedua, ia akan lari kepada fihak lain untuk menjadi sandarannya demi merubah keadaan. Padahal begitu ia bersandar kepada sesuatu selain Allah ta’aala –termasuk bersandar kepada dirinya sendiri- maka pada saat itu pulalah Allah ta’aala akan mengabaikan orang itu dan membiarkannya berjalan mengikuti situasi dan kondisi yang tersedia. Sedangkan orang tersebut dinilai sebagai seorang yang mempersekutukan Allah ta’aala dengan yang lain. Berarti orang tersebut telah jatuh ke dalam kategori seorang musyrik...!

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ

“Dan Tuhanmu berfirman, "Berdo`alah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina." (QS Al-Mu’min 60)

Dan yang tidak kalah pentingnya bahwa seorang muslim tidak boleh pernah berhenti meminta kepadaNya, karena sikap demikian merupakan suatu kesombongan yang akan menjebloskannya ke dalam siksa Allah ta’aala yang pedih. Maka Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam bersabda:

مَنْ لَمْ يَدْعُ اللَّهَ غَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ

“Barangsiapa tidak berdo’a kepada Allah ta’aala, maka Allah ta’aala murka kepadaNya.” (HR Ahmad 9342)
Saudaraku, janganlah berputus asa dari rahmat Allah ta’aala. Bila Anda merasa taqdir yang Allah ta’aala tentukan bagi hidup Anda tidak memuaskan, maka tengadahkanlah kedua tangan dan berdo’alah kepada Allah ta’aala. Allah ta’aala Maha Mendengar dan Maha Berkuasa untuk mengubah taqdir Anda. Barangkali di antara do’a yang baik untuk diajukan sebagai bentuk harapan agar Allah ta’aala mengubah taqdir ialah sebagai berikut:


اللَّهُمَّ أَصْلِحْ لِي دِينِي الَّذِي هُوَ عِصْمَةُ أَمْرِي وَأَصْلِحْ لِي دُنْيَايَ الَّتِي فِيهَا مَعَاشِي وَأَصْلِحْ لِي آخِرَتِي الَّتِي فِيهَا مَعَادِي وَاجْعَلْ الْحَيَاةَ زِيَادَةً لِي فِي كُلِّ خَيْرٍ وَاجْعَلْ الْمَوْتَ رَاحَةً لِي مِنْ كُلِّ شَرٍّ

“Ya Allah, perbaikilah agamaku untukku yang mana ia merupakan penjaga perkaraku. Perbaikilah duniaku yang di dalamnya terdapat kehidupanku. Perbaikilah akhiratku untukku yang di dalamnya terdapat tempat kembaliku. Jadikanlah hidupku sebagai tambahan untukku dalam setiap kebaikan, serta jadikanlah matiku sebagai istirahat untukku dari segala keburukan.” (HR Muslim 4897)

Senin, 17 Oktober 2011

FITNAH DUNIA

FITNAH DUNIA
إِنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ وَإِنَّ اللَّهَ مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيهَا فَيَنْظُرُ كَيْفَ تَعْمَلُونَ فَاتَّقُوا الدُّنْيَا وَاتَّقُوا النِّسَاءَ
فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِي إِسْرَائِيلَ كَانَتْ فِي النِّسَاءِ
“Sesungguhnya dunia adalah manis dan hijau dan sesungguhnya Allah akan menitipkan padamu, maka akan melihat apa yang kamu lakukan. Maka hati-hatilah terhadap dunia dan wanita, karena fitnah pertama yang menimpa Bani Israil terjadi pada wanita” (HR Muslim)
Fitnah dunia telah sedemikian hebatnya mengganas, menyerang dan menguasai pikiran mayoritas umat manusia dan umat Islam. Fitnah itu mengkristal sehingga menjadi sebuah ideologi bahkan agama yang banyak dianut manusia, yaitu materialisme. Dan yang terkena korban materialisme ini bukan hanya muslim awwam semata, tetapi juga menimpa para aktifis dan kader dakwah. Realitas penyakit ini tidaklah terlalu mengagetkan kita, walaupun tidak boleh diremehkan dan dibiarkannya. Rasulullah saw, pada 14 abad yang lalu telah memprediksinya dalam sebuah hadits yang terkenal disebut dengan hadits Wahn.
Demikianlah kondisi umat di akhir zaman, telah dirasuki penyakit hubud dunya yang sangat mendalam sehinga berdampak pada rusaknya tatanan pikiran dan moral mereka. Umat Islam yang sudah terfitnah oleh dunia akan mudah diperbudak oleh dunia. Padahal yang menguasai perbendaharaan dunia sekarang ini adalah bangsa-bangsa kafir. Sehingga jadilah mereka menjadi pengikut negara-negara dan bangsa-bangsa kapitalis dan materialis, seperti AS, Eropa dan Israel. Maka jadilah apa yang seperti digambarkan oleh Rasulullah saw. dalam haditsnya.
Dunia dengan segala isinya adalah fitnah yang banyak menipu manusia. Dan Rasulullah saw. telah memberikan peringatan kepada umatnya dalam berbagai kesempatan, beliau bersabda dalam haditsnya: Dari Abu Said Al-Khudri ra dari Nabi saw bersabda: ”Sesungguhnya dunia itu manis dan lezat, dan sesungguhnya Allah menitipkannya padamu, kemudian melihat bagaimana kamu menggunakannya. Maka hati-hatilah terhadap dunia dan hati-hatilah terhadap wanita, karena fitnah pertama yang menimpa bani Israel disebabkan wanita”(HR Muslim)
Harta dengan segala macamnya pada dasarnya adalah keni’matan yang diberikan Allah swt kepada hambanya. Dan manusia harus menjadikannya sebagai sarana ibadah dalam hidupnya. Tetapi yang sering terjadi dan menimpa manusia ialah bahwa harta berubah menjadi fitnah dan bencana yang merugikan dirinya di dunia maupun akhirat. Sebagaimana diisyaratkan dalam Al-Qur’an: ”Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka; dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu): di sisi Allah-lah pahala yang besar” (At-Taghaabun 14-15).
Macam- Macam Fitnah Dunia
Secara umum fitnah kehidupan dunia dapat dikategorikan menjadi tiga bentuk, yaitu: wanita, harta dan kekuasaan.
Fitnah Wanita
Dahsyatnya fitnah wanita telah disebutkan dalam Al-Qur’an dan Hadits. Bahkan surat ‘Ali Imran 14 menempatkan wanita sebagai urutan pertama yang banyak dicintai oleh manusia dan pada saat yang sama menjadi fitnah yang paling berbahaya untuk manusia. Rasulullah saw. bersabda, ”Tidaklah aku tinggalkan fitnah yang lebih besar bagi kaum lelaki melebihi fitnah wanita” (HR Bukhari dan Muslim).
Fitnah wanita dapat menimpa siapa saja dari seluruh level tingkatan manusia baik dari kalangan pemimpin maupun rakyat biasa. Sejarah telah membuktikan kenyataan tersebut. Banyak para pemimpin dunia yang jatuh karena faktor fitnah wanita. Dan fitnah wanita juga dapat menimpa para da’i dan pemimpin da’i. Bahkan salah satu hadits yang paling terkenal dalam Islam, yaitu hadits niat, sebab keluarnya karena ada salah seorang yang hijrah ke Madinah untuk menikahi wanita yang bernama Ummu Qois. Maka dikenallah dengan sebutan Muhajir Ummu Qois.
Banyak sekali bentuk fitnah wanita, jika wanita itu istri maka banyak para istri dapat memalingkan suaminya dari ibadah, dakwah dan amal shalih yang prioritas lainnya, istri dapat membuat seseorang memutuskan silaturahim dengan orang tua dan saudaranya, lebih mencintai istrinya sehingga suami tidak berdaya, dikendalikan istri dan menghalalkan segala cara. Jika wanita itu wanita selain istrinya, maka fitnah dapat berbentuk perselingkuhan dan perzinahan. Fitnah inilah yang sangat dahsyat yang menimpa banyak umat Islam. Angka perzinahan dan aborsi sangat besar, begitu pula sarana-sarana menuju perzinahan juga sangat terbuka luas. Sedangkan poligami yang dilakukan sesuai dengan batas-batas yang diajarkan Islam, tidak masuk pada fitnah wanita dalam arti yang buruk, karena Rasulullah saw. dan sebagian besar sahabat melaksanakan sunnah ini.
Ada banyak cerita masa lalu baik yang terjadi di masa Bani Israil maupun di masa Rasululullah saw yang menyangkut wanita yang dijadikan obyek fitnah. Kisah seorang rahib yang membakar jari-jari tangannya untuk mengingatkan diri dari azab neraka ketika berhadapan dengan wanita yang sangat siap pakai, kisah penjual minyak wangi yang mengotori dirinya dengan kotoran dirinya agar wanita yang menggodanya lari dan cerita nabi Yusuf as yang diabadikan Al-Qur’an. Itu kisah-kisah mereka yang selamat dari fitnah wanita. Sedangkan kisah mereka yang menjadi korban fitnah wanita lebih banyak lagi. Kisah rahib yang mengobati wanita kemudian berzina sampai hamil dan membunuhnya, sampai akhirnya musyrik karena menyembah syetan. Kisah raja Arab dari Bani Umayyah yang meninggal dalam pelukan wanita dan banyak lagi kisah-kisah lainnya.
Dalam kamus Islam, wanita dapat menjadi pemicu utama dari munculnya potensi kebaikan dan begitu juga dapat memicu utama dari munculnya potensi kejahatan. Wanita yang menjadi pemicu utama kebaiakan adalah wanita shalihah, Rasulullah saw. bersabda, ”Dunia adalah perhiasan dan sebaik-baiknya perhiasan adalah wanita yang shalihah. Jika melihatnya menyenangkan, jika memerintahnya mentaati dan jika ghaib, maka menjaga diri dan hartanya” (HR Muslim). Sedangkan wanita yang menjadi pemicu utama kejahatan adalah wanita yang jahat pula. Rasulullah saw, bersabda, “Dua kelompok penghuni neraka yang tidak akan aku lihat. Kaum yang membawa cemeti seperti ekor sapi untuk menyiksa manusia. Dan wanita yang tidak bersyukur, telanjang (tidak menutup aurat), tidak taat dan menyuruh orang untuk tidak taat. Kepala mereka seperti punuk unta. Mereka tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya, walaupun baunya dapat tercium sejauh perjalanan ini dan ini (HR Muslim)
Fitnah Harta
Fitnah dunia termasuk bentuk fitnah yang sangat dahsyat yang dikhawatirkan Rasulullah saw, “Dari Amru bin Auf al-Anshari ra bahwa Rasulullah SAW mengutus Abu Ubaidah bin al-Jarrah ke al-Bahrain untuk mengambil jizyahnya. Kemudian Abu Ubaidah datang dari bahrain dengan membawa harta dan orang-orang Anshar mendengar kedatangan Abu Ubaidah. Mereka berkumpul untuk shalat Subuh dengan Nabi SAW tatkala selesai dan hendak pergi mereka mendatangi Rasul SAW, dan beliau tersenyum ketika melihat mereka kemudian bersabda:”Saya yakin kalian mendengar bahwa Abu Ubaidah datang dari Bahrain dengan membawa sesuatu?”. Mereka menjawab:”Betul wahai Rasulullah”. Rasul SAW bersabda:” Berikanlah kabar gembira dan harapan apa yang menyenangkan kalian, demi Allah bukanlah kefakiran yang paling aku takutkan padamu tetapi aku takut dibukanya dunia untukmu sebagaimana telah dibuka bagi orang-orang sebelummu dan kalian akan berlomba-lomba mendapatkannya sebagaimana mereka berlomba-lomba, dan akan menghancurkanmu sebagaimana telah menghancurkan mereka” (HR Bukhari dan Muslim).
Pada saat dimana dakwah sudah memasuki wilayah negara, maka fitnah harta harus semakin diwaspadai. Karena pintu-pintu perbendaharaan harta sudah sedemikian rupa terbuka lebar. Dan fitnah harta, nampaknya sudah mulai menimpa sebagian aktifitas dakwah. Aromanya sudah sedemikian rupa tercium menyengat. Kegemaran main dan beraktifitas dihotel, berganti-ganti mobil dan membeli mobil mewah, berlomba-lomba membeli rumah yang mewah dan berlebih-lebihan dengan perabot rumah tangga, lebih asyik bertemu dengan teman yang memiliki level sama dan para pejabat lainnya adalah beberapa fenomena fitnah harta.
Yang paling parah dari fitnah harta bagi para da’i adalah menjadikan dakwah sebagai dagangan politik. Segala sesuatu mengatasnamakan dakwah. Berbuat untuk dakwah dengan berbuat atas nama dakwah bedanya sangat tipis. Menerima hadiah atas nama dakwah, menerima dana dan sumbangan musyarokah atas nama dakwah. Mendekat kepada penguasa dan menjilat pada mereka atas nama dakwah dan sebagainya. Dalam konteks ini Rasulullah saw. dan para sahabatnya pernah ditegur keras oleh Allah karena memilih mendapatkan ghonimah dan tawanan perang, padahal itu semua dengan pertimbangan dakwah dan bukan atas nama dakwah. Kejadian ini diabadikan Al-Qur’an surat Al-Anfaal 67-68, “Tidak patut, bagi seorang nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. kamu menghendaki harta benda duniawiyah sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Kalau sekiranya tidak ada ketetapan yang Telah terdahulu dari Allah, niscaya kamu ditimpa siksaan yang besar Karena tebusan yang kamu ambil.”
Fitnah Kekuasaan
Fitnah kekuasaan biasanya menimpa kalangan elit dan level tertentu dalam tubuh umat. Fitnah inilah yang menjadi pemicu fitnah kubra di masa sahabat, antara Ali ra dengan siti Aisyah ra dalam perang Jamal, antara Ali ra. dengan Muawiyah ra dalam perang Siffin, antara Ali ra. dengan kaum Khawarij dll. Kemudian Muawiyah ra merintis dinasti Umayyah yang sarat fitnah. Demikianlah kekuasaan Islam seterusnya sarat dengan fitnah dan konflik kepentingan. Di masa Bani Abbasiyah banyak ulama yang menjadi korban pembunuhan penguasa yang menganut faham Mu’tazilah, dan terkenallah dengan fitnah penciptaan Al-Qur’an. Dan imam Ahmad bin Ahmad salah seorang ulama korban fitnah kokoh dan tegar dengan sikapnya bahwa Al-Qur’an bukan mahluk.
Fitnah kekuasaan ini juga dapat menimpa gerakan dakwah dan memang telah banyak menimpa gerakan dakwah. Para aktifis gerakan dakwah termasuk para pemimpin gerakan dakwah adalah manusia biasa yang tidak ma’shum dan tidak terbebas dari dosa dan fitnah. Yang terbebas dari fitnah dan kesalahan adalah manhaj Islam. Sehingga fitnah kekuasaan dapat menimpa mereka kecuali yang dirahmati Allah. Kecintaan untuk terus memimpin dan berkuasa baik dalam wilayah publik maupun struktur Partai adalah bagian dari fitnah kekuasaan.
Fitnah kekuasaan yang paling dahsyat menimpa aktifis dakwah adalah perpecahan, saling menjatuhkan, saling memfitnah bahkan saling membunuh. Dan semua itu pernah terjadi dalam sejarah Islam. Semoga kita semua diselamatkan dari semua bentuk fitnah ini.
Untuk mengantisipasi semua bentuk fitnah dunia ini, maka kita harus senantiasa mendekatkan diri kepada Allah dan berlindung dari keburukan fitnah dunia. Mengokohkan pribadi kita sehingga menjadi jiwa rabbani bukan jiwa maadi (materialis) dan juga bukan jiwa rahbani (jiwa pendeta yang suka kultus). Disamping itu kita harus mengokohkan pemahaman kita tentang hakekat dunia, risalah manusia dan keyakinan tentang hisab dan hari akhir.
1. Hakekat Harta dan Dunia
  1. Dunia adalah permainan dan senda gurau. Allah swt berfirman:”Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui”(QS Al-Ankabuut 64).
  2. Kesenangan yang menipu. Allah swt berfirman: ”Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan”(QS Ali Imran 185).
  3. Kesenangan yang terbatas dan sementara, Firman-Nya; Janganlah sekali-kali kamu terpedaya oleh kebebasan orang-orang kafir bergerak di dalam negeri. Itu hanyalah kesenangan sementara, kemudian tempat tinggal mereka ialah Jahannam; dan Jahannam itu adalah tempat yang seburuk-buruknya”(QS Ali Imran 196-197)
  4. Jalan atau jembatan menuju akhirat, Rasulullah saw bersabda: “Jadilah engkau di dunia seperti orang asing atau musafir (HR Bukhari dari Ibnu Umar) Imam Ahmad, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah menambahkan:” Posisikan dirimu bahwa engkau termasuk ahli kubur”.
2. Mengetahui Kedudukan dan Tugas Manusia
Manusia diciptakan Allah sebagai pemimpin yang harus memakmurkan bumi. Maka mereka harus menguasai dunia atau harta bukan dikuasai oleh harta. Sebagaimana do’a yang diungkapkan oleh Abu Bakar ra:”Ya Allah jadikanlah dunia ditanganku bukan masuk kedalam hatiku”. Kedudukan manusia lebih mulia dari dunia dan seisinya maka jangan sampai diperbudak oleh dunia atau harta benda. Manusia memang harus memakmurkan dunia tetapi jangan sampai hal itu melalaikan dirinya dari visi dan misi mereka.
3. Meyakini hari Hisab dan Pembalasan.
Manusia harus mengetahui dan sadar bahwa kekayaan yang mereka miliki akan dihisab dan dibalas di akhirat kelak. Bahkan semua yang dimiliki dan di’nimati manusia baik kecil maupun besar akan dicatat dan dipertanggungjawabkannya. Oleh karenanya mereka harus berhati-hati dalam mencari harta kekayaan dan dalam membelanjakannya. Jangan sampai mencarinya dengan cara yang diharamkan Allah dan membelanjakannya pada sesuatu yang dihramkan Allah. Lebih jauh lagi manusia harus menjauhkan diri dari diperbudak oleh harta.
4. Sadar dan menyakini bahwa keni’matan diakhirat jauh lebih ni’mat dan abadi. Seluruh bentuk keni’matan Allah yang diberikan hamba-Nya didunia hanyalah sebagian kecil saja. Rasulullah saw bersabda: ”Allah menjadikan rahmat 100 bagian, 99 bagian Allah tahan dan Allah turunkan ke bumi satu bagian. Satu bagian itulah yang menyebabkan sesama mahluk saling menyayangi sampai kuda mengangkat telapak kakinya dari anaknya khawatir mengenainya” (Muttafaqun ‘alaihi).
Begitulah, keni’matan paling ni’mat yang Allah berikan di dunia hanyalah satu bagian saja dari rahmat Allah swt sedangkan sisanya Allah tahan dan hanya akan diberikan kepada orang-orang beriman di surga. Oleh karena itu dalam kesempatan lain Rasulullah saw bersabda tentang dunia bagi orang beriman: Dari Abu Hurairah ra berkata:”Rasulullah saw bersabda:”Dunia adalah penjara bagi mu’min dan surga bagi orang kafir”(HR Muslim).
Bahkan Rasulullah saw suatu saat dalam perjalanan bersama sahabat dan melewati pasar, disana ada seekor kambing yang mati dan cacat. Maka Rasulullah saw memegang telinganya dan berkata: “Siapakah yang mau membeli kambing ini satu dirham?” Sahabat berkata:” Kami tidak suka sedikitpun, dan untuk apa kambing itu?”. Rasul saw melanjutkan:” Maukah ini untukmu?”, sahabat menjawab: ”Demi Allah jika masih hidup kambing ini cacat, apalagi kambing sudah jadi bangkai!”. Maka Rasulullah bersabda:”Demi Allah dunia untukmu lebih hina dari kambing ini di hadapan Allah”.
“Maka janganlah harta benda dan anak-anak mereka menarik hatimu. Sesungguhnya Allah menghendaki dengan (memberi) harta benda dan anak-anak itu untuk menyiksa mereka dalam kehidupan di dunia dan kelak akan melayang nyawa mereka, sedang mereka dalam keadaan kafir”(QS At-Taubah 55)
Dan kesimpulannya agar kita terbebas dari fitnah dunia, maka kita harus membentuk diri kita menjadi karaktersitik rabbaniyah bukan madiyah dan juga bukan rahbaniyah. Jiwa inilah yang selalu mendapat bimbingan Allah karena senantiasa berintraksi dengan Al-Qur’an baik dengan cara mempelajarinya maupun dengan cara mengajarkannya. Wallahu A’lam

”Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? Dan Sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, Maka Sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan Sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta”
(QS Al-Ankabuut 2-3).
Kehidupan dunia secara keseluruhan, baik dan buruknya adalah fitnah atau ujian bagi manusia. Fitnah yang senantiasa menyertai manusia dalam hidupnya sampai akhir hayatnya. Tetapi sangat disayangkan sebagian besar umat manusia tidak mengetahui bahwa kehidupan di dunia ini fitnah. Sebagian yang lain mengetahui bahwa kehidupan di dunia ini fitnah tetapi kalah oleh dahsyatnya fitnah itu sendiri. Hanya sebagian kecil saja yang sadar bahwa kehidupan di dunia ini fitnah, kemudian mereka berhati-hati terhadap fitnah itu dan ketika lalai atau lupa kembali pada petunjuk Allah.
Bagi orang beriman yang memahami hakekat kehidupan dunia, tetap belum aman terhadap fitnah, karena syetan selalu mengawasi mereka dan menggodanya sehingga orang beriman itu, lalai, jatuh dan terkena fitnah dunia dengan segala macamnya. Begitu juga para da’i yang selalu mengajak manusia untuk beribadah pada Allah belum aman dari fitnah. Syetan memiliki seribu satu macam cara untuk memfitnah dan menggoda para da’i sehingga mereka jatuh dan meninggalkan gelanggang dakwah kemudian memilih kehidupan dan profesi lain yang lebih santai, aman dan jauh dari dinamika dakwah.
Dan begitu juga para pemimpin umat, mubaligh, ustadz dan tokoh masyarakat belum aman dari fitnah. Fitnah akan menyerang siapa saja dari manusia selagi mereka hidup di dunia, ada yang berjatuhan terkena fitnah dan ada juga yang selamat dengan izin Allah. Di akhir zaman ini fitnah akan semakin dahsyat dan mengerikan. Rasulullah saw. bersabda: ” Segeralah beramal sebelum terjadinya fitnah-fitnah seperti gelapnya malam. Seorang yang paginya mukmin sorenya menjadi kafir, dan pada sore hari mukmin dan paginya kafir, menjual agamanya dengan sedikit dari kekayaan dunia” (HR Muslim)
Rasulullah saw. selalu mengajarkan kepada umatnya agar berlindung kepada Allah dari berbagai macam fitnah yang membahayakan manusia. Diantara do’a Rasul saw. untuk membentengi fitnah tersebut yaitu : “Jika kalian membaca tasyahud, maka berlindunglah dari empat hal, yaitu berkata:”Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari adzab Jahannam, dari adzab kubur, dari fitnah kehidupan dan kematian dan dari buruknya fitnah al-Masih ad-Dajjaal” (HR Muslim)
Makna Fitnah
Fatana Al-Ma’din artinya logam itu dibakar untuk mengetahui kualitasnya, (29: 2). Fatana Fulanan artinya si Fulan itu disiksa agar berubah dari sikap atau pendiriannya, (85: 10). Fatanahul Maal dan fatanathul Mar’ah artinya tergoda dengan harta dan wanita, (8: 28). Fatana fulaanan ’an sya’i artinya melalaikan atau memalingkan dari sesuatu, (5: 49). Iftatana bil amri artinya terkena fitnah dengan sesuatu seperti harta, wanita dan lainnya.
Jadi sesuai dengan ungkapan diatas, fitnah menurut para ahli bahasa bermakna ujian atau cobaan dalam berbagai macam bentuknya. Ada ujian yang buruk seperti siksaan, kesusahan, penderitaan, penyakit dsb. Ada ujian dalam bentuk kebaikan seperti harta, wanita, kedudukan, popularitas dsb. Fitnah juga bermakna kegagalan dari sebuah ujian dan berakibat pada keburukan, seperti syirik, kejahatan, kemungkaran, kerusakan, perselisihan, saling bunuh, dsb.
Gambaran Fitnah dalam Al-Qur’an
Al-Qur’an banyak sekali mengungkapkan kata fitnah dengan berbagai macam maknanya. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam beberapa ayat, diantaranya:
”Alif laam miim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta” (QS Al-Ankabuut 1-3)
Manusia dalam mensikapi ajaran para nabi dan rasul ada dua sikap. Pertama, orang-orang yang mengimani ajarannya, merekalah orang-orang yang beriman. Dan kedua, orang orang-orang yang mengingkari ajarannya, mereka termasuk kelompok orang-orang kafir. Ketika manusia menyatakan keimanannya, maka mereka akan diuji untuk membuktikan bahwa pernyataan itu benar atau salah. Karena keimanan bukan hanya kata-kata yang diungkapkan, tetapi keimanan adalah hakekat yang mengandung resiko dan tanggungjawab, keseriusan yang membutuhkan ketabahan, jihad yang membutuhkan kesabaran. Oleh karena itu tidak cukup manusia menyatakan beriman sebelum mendapatkan ujian, cobaan dan tantangan.
Semakin tinggi tingkat keimanan seseorang, maka semakin besar juga ujian dan cobaannya. Para nabi adalah orang yang paling besar ujian dan cobaannya kemudian yang sejenisnya dan seterusnya sesuai kadar keimanan seseorang. ”Orang yang paling besar ujiannya adalah para nabi, kemudian yang sejenisnya dan sejenisnya. Seorang akan diuji sesuai kualitas agamanya. Jika kualitas agamanya kuat maka ujiannya juga kuat dan jika agamanya lemah, maka diuji sesuai kadar agamanya” (HR Bukhari, Ahmad dan At-Tirmidzi).
Demikian orang-orang yang menyatakan beriman akan mendapatkan ujian dan cobaan di dunia, sedangkan orang kafir juga akan mendapatkan ujian dan cobaan. Orang beriman mendapatkan ujian awal di dunia berupa penderitaan, cobaan, ujian, kesusahan, fitnah dll untuk kemudian mendapatkan kesuksesan dan kebahagiaan akhir di akhirat. Sedangkan orang-orang kafir bersenang-senang dan berfoya-foya di awal hidupnya di dunia untuk kemudian mendapatkan ujian dan siksaan di akhirat. Jadi kedua golongan itu menjadapatkan kesusahan, fitnah dan ujian, orang beriman di dunia dan orang kafir di akhirat.
Seseorang bertanya pada imam As-Syafi’i, dan berkata:” Wahai Aba Abdillah, mana yang lebih utama bagi seorang lelaki, mendapatkan kedudukan atau mendapat ujian?” Berkata imam As-Syafi’i:” Seseorang tidak mungkin akan mendapat kedudukan sehingga mendapat ujian. Karena sesungguhnya Allah telah menguji Nuh as, Ibrahim as, Musa as, Isa as, dan Muhammad saw. Ketika mereka sabar, maka Allah berikan kemuliaan kepada mereka. Maka jangan menyangka seorang beriman bebas dari ujian kesusahan. Allah SWT berfirman: ” Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar” (QS Al-Baqarah 155)
Gambaran Fitnah Dalam Hadits
Hampir di setiap kitab hadits memuat bab tentang Fitnah. Imam Bukhori, At-Turmudzi dan Ibnu Majah membuat judul dalam kitab haditsnya Kitabul Fitan, Abu Dawud dan Al-Hakim menyebutnya dengan judul Kitabul Fitan wal Malaahim( bab fitnah dan huru hara), sedangkan imam Muslim menyebutnya Kitabul Fitan wa ’Asyraatus Saa’ah (bab fitnah dan tanda-tanda hari kiamat).
Diantara hadits-hadits yang disebutkan dalam shohih Bukhori tentang fitnah dapat disebutkan:
  1. Imam Bukhori mengawali hadits Fitnah dengan menyebut surat Al-Anfaal 25, agar orang beriman hati-hati terhadap fitnah dan menjauhinya.
  2. Fitnah semakin hari semakin berat dan semakin buruk.
  3. Harta yang paling bersih di akhir zaman bagi muslim adalah domba yang digembalakan di hutan dekat gunung dan iar hujan.
  4. Diantara fitnah diakhir zaman, diangkatnya ilmu, dominannya kebodohan dan banyaknya pembunuhan.
  5. Umat Islam harus bersabar pada pemimpin jamaah Islam walaupun benci asal tidak menyuruh kepada kemungkaran dan kekafiran.
  6. Cara yang baik untuk selamat dari fitnah yaitu komitmen dengan jamaah Islam.
  7. Di masa fitnah dilarang memegang senjata yang membahayakan umat Islam.
Tokoh sahabat yang paling menguasai masalah fitnah adalah Hudzaifah bin Al-Yaman. Beliau banyak bertanya tentang keburukan daripada kebaikan. Hal ini dilakukan agar orang-orang beriman terhindar dari fitnah dan keburukannya. Bunyi lengkap hadits adalah: ”manusia biasa bertanya pada Rasulullah SAW tentang kebaikan, sedang aku bertanya kepada beliau tentang kejahatan, karena khawatir akan mengenaiku”. Saya berkata: “Wahai Rasulullah SAW apakah kami dahulu dimasa Jahiliyah dan penuh kejahatan, kemudian Allah mendatangkan dengan kebaikan ini (Islam). Apakah setelah kebaikan ini adalagi keburukan”. Rasul SAW menjawab:”Ya”. Apakah setelah keburukan itu ada kebaikan”. Rasul SAW menjawab:”Ya, tetapi ada polusinya”. “Apa polusinya?”. Rasul menjawab:” Kaum yang mengambil hidayah dengan hidayah yang bukan dariku, engkau kenali dan engkau ingkari”. Saya berkata:” Apakah setelah kebaikan itu ada keburukan?”. Rasul SAW menjawab:” Ya, para penyeru ke neraka jahanam, barangsiapa yang menyambut mereka ke neraka maka mereka melamparkannya ke dalam neraka”. Saya berkata:” Ya Rasulullah SAW, terangkan ciri mereka pada kami?”. Rasul SAW menjawab:” (kulit) mereka sama dengan kulit kita, berbicara sesuai bahasa kita”. Saya berkata:” Apa yang engkau perintahkan padaku jika aku menjumpai hal itu?” Rasul SAW bersabda:” Komitmen dengan jamaah muslimin dan imamnya”. Saya berkata:” Jika tidak ada pada mereka jamaah dan imam?” Rasul menjawab:” tinggalkan semua firqah itu, walaupun engkau harus menggigit akar pohon sampai menjumpai kematian dan engkau tetap dalam kondisi tersebut” (HR Bukhari dan Muslim)
Hadits lain yang berbicara tentang fitnah yang diriwayatkan Hudzaifah adalah: Saat itu kami bersama Umar bin Khattab beliau berkata: ”Siapa diantara kalian yang mendengar Rasulullah saw. menyebutkan tentang fitnah-fitnah? Berkata diantara mereka: ”Kami mendengarnya”. Berkata Hudzaifah: ”Mungkin yang antum maksud terfitnahnya seorang lelaki oleh keluarga dan tetangganya ?” Mereka menjawab :” Benar”. Berkata Hudzaifah:” Fitnah itu terhapus dengan sholat, puasa dan sedekah, tetapi siapa yang mendengar Nabi saw. menyebutkan fitnah-fitnah seperti gelombang lautan ? “Berkata Hudzaifah:” Maka mereka terdiam”. Aku berkata:” Aku tahu”. Berkata Umar:” Engkau wahai Hudzaifah !”. Berkata Hudzaifah, saya mendengar Rasulullah saw. bersabda:” Fitnah-fitnah itu mengenai hati seperti tikar yang menempel secara terus-menerus” (HR Bukhori dan Muslim)
Fitnah anak, istri, tetangga dan lain-lain berupa mencintai mereka secara berlebihan, kurang ketaatannya kepada Allah akibat kesibukan dengan mereka, munculnya sikap kikir akibat kecintaan tersebut. Fitnah anak istri dapat juga berupa melalaikan hak-hak anak dan istri seperti mendidik mereka, begitu juga terkait dengan fitnah tetangga. Dan fitnah ini sebagaimana disebutkan dalam hadits terhapus dengan ibadah sholat, puasa dan sedekah. Fitnah ini banyak disebutkan dalam Al-Qur’an dan hadits, diantaranya: “Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu): di sisi Allah-lah pahala yang besar” (QS At-taghabuun 15). Rasulullah saw. bersabda:” Tidaklah aku tinggalkan fitnah yang lebih besar bagi kaum lelaki melebihi fitnah wanita” (HR Bukhari dan Muslim).
Dikatakan oleh ulama bahwa fitnah anak ada satu dan fitnah wanita ada dua. Fitnah wanita ada dua yaitu, pertama; wanita menyuruh suaminya untuk memutus hubungan silaturahim pada ibu dan saudara-saudara suaminya. Kedua; menyuruh suaminya untuk mencari harta yang halal atau haram. Sedangkan fitnah anak hanya satu yaitu membuat bapaknya mencari harta yang halal atau haram.
Dan fitnah lain yang disebut Hudzaifah adalah fitnah yang besar seperti gelombang lautan yang dapat menghanyutkan siapa saja yang ada di lautan kehidupan. Dalam hadits lain fitnah ini dapat menyebabkan seorang yang paginya muslim sorenya menjadi kafir, atau sorenya muslim, paginya menjadi kafir, mereka menjual agama dengan harta yang sedikit.
Diantara fitnah yang sangat besar adalah fitnah yang muncul dari para pemuka agama, alim ulama, kyai dan para da’i, jika mereka sudah terkena fitnah dunia, maka mereka menjual agamanya dengan harta dunia, menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Ulama seperti ini dalam terminologi Islam disebut Ulama Suu (ulama jahat). Ciri khas mereka yang utama adalah lebih mencintai dan mengutamakan dunia. Akibatnya mereka tidak dapat berkata benar dalam mengeluarkan pernyataan dan fatwanya, karena hukum Allah senantiasa bertentangan dan bertolak belakang dengan syahwat manusia dan kecintaan mereka terhadap dunia, seperti kecintaan pada harta, kekuasaan, wanita dll. Rasulullah saw. Bersabda: ”Orang yang paling keras adzabnya di hari kiamat adalah alim, yang Allah tidak memberi manfaat pada ilmunya” (HR At-Thabrani dan Al-Baihaqi) Berkata Umar bin Khattab:”Yang paling aku takuti pada umat ini adalah orang jahat yang pandai berkata (ilmunya tidak sampai pada hatinya)”. Berkata Ali ra:” Yang paling menjengkelkanku adalah dua orang, orang berilmu tapi jahat, orang bodoh tapi rajin ibadah. Yang pertama membuat jauh manusia karena kejahatannya, dan yang kedua menipu manusia karena ibadahnya.”
Ulama Jahat akan senantiasa melakukan bid’ah untuk membenarkan kejahatannya. Maka terkumpulah pada mereka sifat buruk, mengikuti hawa nafsu yang mematikan mata hatinya, sehingga tidak dapat membedakan antara yang hak dan batil, bahkan memutarbalikan antara yang hak dengan batil, sehingga melihat yang hak itu batil dan yang batil itu hak. Demikianlah kejahatan ulama jika sudah lebih mencintai dunia, syahwat dan hawa nafsu dari akhirat. Sebagaimana disebutkan dalam surat Al-A’raaf 175,176.
Macam-Macam Fitnah
Sebagaimana uraian diatas, maka secara umum fitnah terbagi menjadi dua, yaitu fitnah kebaikan dan fitnah keburukan. Allah SWT. berfirman: “Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada
Kamilah kamu dikembalikan” (QS Al-Anbiyaa 35).
Fitnah kebaikan biasa disebut juga dengan fitnah dunia dan bermuara pada tiga hal yaitu harta, tahta dan wanita. Nabi saw bersabda: ”Sesungguhnya dunia itu manis dan lezat, dan sesungguhnya Allah menitipkannya padamu, kemudian melihat bagaimana kamu menggunakannya. Maka hati-hatilah terhadap dunia dan hati-hatilah terhadap wanita, karena fitnah pertama yang menimpa bani Israel disebabkan wanita” (HR Muslim)
Harta dengan segala macamnya pada dasarnya adalah keni’matan yang diberikan Allah SWT. kepada hamba-Nya. Dan manusia harus menjadikannya sebagai sarana ibadah dalam hidupnya. Manusia yang mestinya menjadikan harta sebagai sarana tetapi mereka menjadikannya tujuan hidup bahkan banyak yang menghambakan hidupnya pada harta. Sehingga celakalah mereka, harta berubah menjadi fitnah dan bencana yang merugikan dirinya di dunia maupun akhirat.
Dan bagian fitnah yang harus diwaspadai para da’i dan pemimpin umat terkait dengan kebaikan adalah popularitas, sanjungan, pujian, penampilan, kecantikan, pengikut yang banyak, kemenangan dan sejenisnya. Imam Ahmad bin Hambal ra. setelah terbebas dan penyiksaan yang berat dan dikeluarkan dari penjara, beliau mendapatkan simpati dan sambutan yang luar biasa dari pengikutnya. Mereka berdatangan untuk belajar, bertanya dan berguru pada imam Ahmad ra. Melihat sambutan yang luar biasa dari pengikutnya, imam Ahmad menangis dan sangat khawatir kalau ini adalah istidraj (fitnah) yang akan menjatuhkan beliau dari sikap istiqomah.
Sedangkan fitnah keburukan, seperti siksaan sampai ketingkat pembunuhan, pengusiran, pemenjaraan, pemboikotan, kemiskinan, penyakit dll. Demikianlah fitnah terjadi silih berganti yang terjadi pada para nabi dan orang-orang beriman, “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: "Bilakah datangnya pertolongan Allah?" Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat” (QS Al Baqarah 214)
Dalam konteks pemikiran dan gerakan, muncul beragam fitnah dan syubhat di bidang gerakan pemikiran sesat dan bid’ah yang menjamur di tengah masyarakat muslim, seperti JIL (Jaringan Islam Liberal), Ahmadiyah, Baha’iyah, LDII (Lembaga Dakwah Islam Indonesia), Isa Bugis, Syiah dll. Fitnah ini muncul karena lemahnya umat Islam terhadap ajaran Islam. Dan jatuhlah mereka pada pemahaman yang salah dan menyimpang terhadap Islam. Tingkat penyimpangan gerakan pemikiran berbeda satu sama lain, ada yang sudah sesat dan keluar dari ajaran Islam, seperti Ahmadiyah, tetapi ada juga yang masih dapat diajak dialog tentang keislaman.
Dan fitnah yang terbesar dan terberat yang dihadapi oleh orang-orang beriman adalah fitnah menyebarnya kemusyrikan, kekafiran, kemungkaran, perselisihan dan perang antara sesama orang beriman. Fitnah yang pertama muncul setelah wafatnya Rasul saw., menyebarnya kemurtadaan dan orang-orang yang tidak mau membayar zakat. Dan Abu bakar As-Siddiq berhasil memeranginya. Fitnah pembunuhan terhadap Khulafaur Rasyidin, Umar, Utsman dan Ali semoga Allah meridhoi semuanya. Fitnah antara imam Ali ra dengan siti Aisyah ra dalam perang Jamal, antara Ali ra dengan Muawiyah ra dalam perang Shiffin. Dan para ulama menyebutnya dengan istilah Fitnah Qubra.
Sikap Para Da’i terhadap Fitnah
Segala macam fitnah harus disikapi dengan bijak oleh para da’i sesuai dengan bentuk dan kadar fitnahnya. Ketika para da’i berhasil mengatasi fitnah yang terjadi di dunia, maka dia akan sukses dan mendapatkan ganjaran yang besar dari sisi Allah. Sikap pertama yang harus dilakukan oleh para da’i untuk menghadapi fitnah adalah hati hati dan waspada (hadzr). Setiap da’i apapun yang terjadi, baik dan buruknya, senantiasa dalam kondisi diuji. Kemudian untuk menyikapi segala macam fitnah keburukan para da’i harus bersabar, bersabar tidak terlibat dalam keburukan dan bersabar atas segala musibah yang buruk. Dan menyikapi segala bentuk kemudahan para da’i harus bersyukur. Rasul saw. bersabda:” Sungguh mena’jubkan urusan orang beriman, segala urusannnya baik dan itu tidak terjadi kecuali orang beriman. Jika diuji kemudahan, dia bersyukur maka itu baik untuk orang beriman. Dan jika diuji kesusahan maka dia bersabar, dan itu baik untuk orang beriman” (HR Muslim)
Selanjutnya dalam mensikapi berbagai macam huru hara, perselisihan dan fitnah antara sesama muslim, maka sikap para da’i harus tetap komitmen pada jamaah Islam dan tetap taat pada pemimpin selagi tidak menyuruh pada kemungkaran dan kekafiran.
Fitnah terkait dengan kebatilan dan pemikiran yang sesat harus dihadapi dengan dakwah dan argumentasi yang kuat sehingga terlihat jelas antara kebenaran dan kebatilan. Ulama dan para da’i harus menjelaskan kepada umat antara yang hak dengan yang batil agar mereka tidak menjadi bingung dan tidak tersesat. Rasulullah saw. bersabda: “Sebaik-baiknya jihad adalah perkataan yang benar pada penguasa yang sesat” (HR Ahmad).
Pada masa kekhalifahan imam Ali ra. Banyak kaum yang keluar dari jamaahnya dan disebut kelompok Khawarij. Lalu imam Ali ra. Mengirim Ibnu Abbas ra . kepada mereka untuk berdialog seputar agama dan pemahaman Islam, maka banyak sekali diantara mereka yang sadar dan kembali pada ajaran yang benar. Begitu juga terhadap kelompok yang mengkultuskan dirinya dari kalangan Syiah, maka imam Ali ra senantiasa mengarahkan pada pemahaman yang benar dan menolak segala macam pengkultusan.
Sedangkan untuk menyikapi fitnah kekafiran dan kemusyrikan, maka umat Islam harus berjihad melawannya. Allah SWT berfirman: ”Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari kekafiran), maka sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan” (QS Al-Anfal 39). Seluruh bentuk fitnah harus dilawan oleh umat Islam sehingga hanya Islamlah yang eksis di muka bumi ini. Wallahu a’alm bishawab.