Senin, 19 Desember 2011

[ durasi full ] KH. Zainuddin MZ - Akhirat

KONDISI UMAT ISLAM SAAT INI

Kondisi umat saat ini
Islam adalah sistem yang diridhai oleh Allah Swt. Mengatur setiap senti bahkan mili kehidupan manusia.
Islam turun sebagai rahmatan lil’alamin (rahmat bagi seluruh alam). Penyempurna dari bangunan yang telah berdiri sebelumnya. Bangunan yang dibawa oleh salah satu utusan Allah Swt. Yakni Ibrahim as. Belumlah sempurna, masih banyak lubang lubang yang harus ditambal disana sini. Kemudian ditambah lagi oleh Rasul rasul selanjutnya sepeninggal Beliau as. Sampai disempurnakan saat datangnya Rasulullah Muhammad Saw.
Manusia pada dasarnya memiliki fitrah untuk menyembah Allah Swt. Dalam surat Ar-rum ayat 30 sudah sangat jelas sekali dijelaskan tentang fitrah manusia.
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui,
Namun iblis bersama pasukannya tidak akan tinggal diam, karena kesombongannya mereka akan menggoda manusia dari berbagai sisi, dari depan, samping dan belakang. Mereka tidak akan hanya duduk duduk saja , sampai mereka mendapatkan apa yang menjadi keinginnannya, yaitu menyesatkan umat ini dari jalan yang haq ke jalan yang batil.
“yang dilaknati Allah dan syaitan itu mengatakan: “Saya benar-benar akan mengambil dari hamba-hamba Engkau bahagian yang sudah ditentukan (untuk saya), dan aku benar-benar akan menyesatkan mereka, dan akan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka dan akan menyuruh mereka (memotong telinga-telinga binatang ternak), lalu mereka benar-benar memotongnya, dan akan aku suruh mereka (merubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka merobahnya”. Barang siapa yang menjadikan syaitan menjadi pelindung selain Allah, maka sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata. (04:118-119)”
Syaitan tidak akan pernah berhenti untuk menyesatkan umat manusia dari jalan yang lurus dan benar, mereka senantiasa akan menjadi penggoda, penghasut, pembisik setiap kejahatan kejahatan yang akan dilakukan manusia.
Inilah yang menyebabkan pada setiap umat muncul suatu perpecahan, ada yang benar benar menjaga keaslian ajaran yang di bawa penyeru pada masanya dan ada yang berpaling dari ajaran penyeru pada masanya. Seperti samiri pada masa Nabi Musa as. Samiri membuat patung sapi untuk disembah, patung sapi yang bisa mengeluarkan bunyi. Sehingga pada saat itu, umat menduga bahwa sapi itu adalah tuhannya. Namun ada juga orang orang yang memang benar-benar mempertahankan dan menjaga keaslian yang dibawa oleh Penyerunya pada saat itu.
Melihat genersasi dongeng, ya, kita hanya bisa mengatakannya dongeng, karena sungguh luar biasa sekali apa yang dilakukan oleh generasi generasi pendahulu Islam, mereka membangun kejayaan dari kekuatan aqidah, kekuatan ikatan hati yang begitu dalam dengan Allah Swt. Mereka bersabar tatkala mendapatkan ujian, hinaan. Mereka serahkan segalanya hanya pada Allah Swt. Cukuplah Allah yang menjadi penolong bagi mereka. Subhanallah, Maha Suci Allah,, mereka benar benar menyerahkan kehidupannya hanya untuk Allah Swt.
“sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah……”
Mereka sadar bahwa dirinya hanyalah untuk Allah Swt. Mereka telah meyakini bahwa jual belli terbaik adalah dengan Allah Swt.
Masih kita ingat betapa mulianya Mushab bin umair yang meninggalkan kenikmatan dunia, meninggalkan harta orang tuanya yang begitu berlimpah hanya untuk memeluk Islam.dia diusir oleh ibunya, dihilangkan hak akan harta orang tuanya, tidak diberi uang jajanlah kalojaman kita. Yang jadi pertanyaan, Apakah kita pada zaman ini sanggup melakukannya?
Ingatlah satu hadist Nabi Saw.
Dari Tsauban, ia berkata bahwa Rasulullah SAW telah bersabda, ”Akan terjadi masa di mana umat-umat di luar Islam berkumpul di samping kalian, wahai umat islam. Sebagaimana berkumpulnya orang-orang yang menyantap hidangan.”
Lalu, seorang sahabat bertanya, ”Apakah kami pada saat itu sedikit, wahai Rasulullah?”
Beliau menjawab, ”Tidak. Bahkan, ketika itu, jumlah kalian banyak. Akan tetapi, kalian ketika itu bagaikan buih di lautan. Ketika itu, Allah hilangkan dari musuh-musuh kalian rasa segan dan takut terhadap kalian dan kalian tertimpa penyakit wahn.”
Sahabat tadi bertanya lagi, ”Wahai Rasulullah, apa yang baginda maksud dengan wahn itu?” Rasulullah menjawab, ”Cinta dunia dan takut mati.” (HR Abu Dawud).
Sebenarnya umat islam, saat ini, punya potensi yang sangat besar, bisa dilihat dari jumlahnya yang sangat banyak, namun banyaknya umat ini tidaklah lantas menjadikan ummat yang besar ini kuat. Mereka bagaikan buih dilautan. Tiada bermakna, tidak ada lagi orang yang segan bahkan takut dengan mereka. Zaman ini, dimana ummat ini jumlahnya sangat banyak, hanya menjadi bahan olok-olokan kaum kaum kafir, mereka tidak menyadarinya, karena syaithan telah melalaikan manusia dari mengingat Allah Swt.
Kecintaan ini muncul seiring tumbuhnya usia manusia, kenapa seiring dengan tumbunya usia? Karena manusia akan merasakan kenikmatan kenikmatan dunia yang baru. Semakin hari mereka akan merasakan kenikmatan kenikmatan yang bertambah. Inilah mengapa semakin lama, manusia akan semakin cinta pada dunia.
Setelah merasakan kenikmatan yang begitu menumpuk mereka terlena dengan kenikmatan di dunia,, manusia lupa akan kenikmatan yang abadi kenikmatan di surga. Kenikmatan dalam jannah-Nya.
Kondisi ini memang sangat menyedihkan, dimana Ummat Islam sudah terlena dengan dunia yang menjadikan mereka ingin hidup selama-lamanya, mereka enggan berjuang, enggan berdakwah, enggan merasakan pahitnya perjuangan. Lemah mentalnya, lemah daya saingnya, apakah pantas manusia yang menghambakan hidup untuk dunianya meminta jannah-Nya?
Kondisi yang memprihatinkan ini memang sudah akut. Penyakit yang menyebar ini memang sudah sangat parah. Muslim yang menganggap ibadahnya bisa memasukannya kedalam surga, padahal bukan karena ibadahnyalah dia masuk surga, melainkan karena Rahmat dari Allah Swt. Maka, pantaskah ia meminta jannah-Nya? Padahal enggan dia memperjuangkan kebenaran yang hakiki!

SIAPAKAH ORANG YANG BERUNTUNG ITU?

Mari kita menengok dua kitab tafsir yang ditulis oleh ulama kontemporer, Tafsir al-Maraghi karya Syaikh Ahmad ibn Mushthafa al-Maraghi rahimahullah dan at-Tafsir al-Munir fi al-‘Aqidah wa asy-Syari’ah wa al-Manhaj karya Syaikh Dr. Wahbah ibn Mushthafa az-Zuhaili hafizhahullah, pada surah al-Mu’minuun ayat 1 – 11. Dari ayat-ayat tersebut, akan jelas bagi kita siapakah orang-orang yang beruntung.
Menurut dua kitab tersebut –menjelaskan makna ayat di awal-awal surah al-Mu’minuun–, Allah ta’ala menetapkan tujuh sifat orang-orang yang beruntung. Berikut sifat-sifat tersebut beserta sedikit tambahan penjelasan dari saya untuk lebih mendekatkan pemahaman.
1. Beriman (قد أفلح المؤمنون)
Yaitu beriman kepada Allah ta’ala, Rasul-rasul-Nya dan hari akhir. Ini sifat pertama yang dimiliki oleh orang-orang yang beruntung, sekaligus menafikan keberuntungan hakiki bagi orang-orang yang tidak beriman kepada Allah ta’ala, Rasul-rasul-Nya dan hari akhir.
2. Khusyu’ dalam shalat (الذين هم في صلاتهم خاشعون)
Yaitu merendahkan diri di hadapan Allah ta’ala seraya merasa takut akan mendapat azab-Nya. Al-Hakim meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat dengan mengangkat pandangannya ke langit, kemudian turun ayat ini, setelah itu Rasulullah mengalihkan pandangan beliau ke tempat sujud.
Khusyu’ adalah amalan hati dan tampak dari tenangnya anggota tubuhnya. Khusyu’ dalam shalat wajib hukumnya dilihat dari sisi:
a) Untuk mentadabburi apa yang ia baca, sebagaimana firman Allah ta’ala dalam surah Muhammad ayat 24: {أفلا يتدبرون القرآن أم على قلوب أقفالها}.
b) Untuk mengingat Allah dan takut akan siksanya, sebagaimana firman Allah ta’ala dalam surah Thaha ayat 14: {وأقم الصلاة لذكري}.
c) Orang yang shalat sedang ber-munajah dengan Tuhannya, dan orang yang lalai (tidak khusyu’) tidak bisa dikatakan sedang ber-munajah.
Khusyu’ dalam shalat, menurut mayoritas ulama, bukanlah syarat wajib dalam shalat dari sisi taklif hukum syara’, melainkan syarat untuk mendapatkan pahala dan mencapai ridha Allah ta’ala. Artinya, shalat yang tidak khusyu’ tetap sah, namun tidak berpahala.
3. Menjauhkan diri dari hal-hal yang tidak berguna (والذين هم عن اللغو معرضون)
Yaitu meninggalkan segala hal yang haram, makruh, serta perkara-perkara mubah yang tidak ada kebaikan di dalamnya. Termasuk meninggalkan perkataan dusta, senda gurau yang berlebihan dan caci maki, serta meninggalkan seluruh kemaksiatan dan segala perkataan dan perbuatan yang tidak ada manfaatnya.
Hal ini sebagaimana firman Allah ta’ala dalam surah al-Furqan ayat 72:
وإذا مروا باللغو مروا كراما
Artinya: “Dan jika mereka melewati orang-orang yang melakukan hal-hal yang tidak berguna, mereka berlalu saja (tak menghiraukan orang-orang yang melakukan hal-hal yang tidak berguna tersebut) dengan tetap menjaga kehormatan mereka.”
4. Menunaikan zakat (والذين هم للزكاة فاعلون)
Az-Zuhaili memaparkan bahwa ada perbedaan pendapat di kalangan mufassir memahami ayat ke-4 pada surah al-Mu’minuun ini, yaitu tentang pengertian الزكاة di ayat ini. Apakah yang dimaksud adalah zakat harta, padahal zakat harta baru diwajibkan di Madinah, sedangkan ayat ini makkiyah. Jika dipahami zakat harta, bisa jadi kewajiban zakat sudah ada sejak di Makkah, namun nishab dan batasan tertentunya baru ada di Madinah. Bisa juga maksudnya adalah zakah an-nafs (pembersihan diri) dari syirik dan berbagai kotoran. Bisa juga maksudnya adalah zakat harta sekaligus zakat an-nafs.
Bagaimanapun, pembersihan harta dengan zakat harta maupun pembersihan diri dari syirik dan kotoran (الدنس) merupakan kewajiban bagi seorang muslim.
5. Menjaga kemaluan (والذين هم لفروجهم حافظون إلا على أزواجهم أو ما ملكت أيمانهم فإنهم غير ملومي)
Yaitu menjaga kemaluannya dari yang haram, tidak melakukan dan tidak mendekati perbuatan yang haram tersebut, seperti perbuatan zina dan liwath. Mencukupkan diri dengan yang halal saja, yaitu istri yang telah dihalalkan oleh Allah melalui akad nikah (maksimal 4 orang), serta budak-budak yang dimiliki (catatan: saat ini budak sudah tidak ada lagi).
Barangsiapa yang mencukupkan diri dengan yang halal, maka tidak ada celaan dan dosa atasnya. Sebaliknya, siapapun yang mencari selain yang halal tersebut, maka ia telah melampaui batas dan melanggar hukum Allah, sebagaimana yang dinyatakan oleh Allah ta’ala dalam surah al-Mu’minuun ayat 7:
فمن ابتغى وراء ذلك فأولئك هم العادون
Artinya: “Barangsiapa yang mencari selain yang halal tersebut, maka sesungguhnya mereka termasuk orang-orang yang melampaui batas.”
Menurut az-Zuhaili ayat di atas merupakan dalil atas haramnya mut’ah dan onani.
6. Menjaga amanah dan janji (والذين هم لأماناتهم وعهدهم راعون)
Yaitu jika diberi amanah tidak berkhianat, dan jika berjanji ditepati. Menunaikan amanah dan menepati janji merupakan sifat orang-orang yang beriman, sebaliknya sifat khianat dan suka melanggar janji merupakan sifat orang munafiq. Hal ini disampaikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana yang diriwayatkan oleh Syaikhan, at-Tirmidzi dan an-Nasai dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berikut ini:
آية المنافق ثلاث: إذا حدث كذب، وإذا وعد أخلف، وإذا ائتمن خان
Artinya: “Ciri orang munafiq ada tiga: jika berbicara ia berdusta, jika berjanji ia melanggar, dan jika diberi amanah ia berkhianat.”
Juga sebagaimana firman Allah ta’ala dalam surah al-Anfaal ayat 27:
يا أيها الذين آمنوا لا تخونوا الله والرسول وتخونوا أماناتكم
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengkhianati Allah dan Rasul, dan janganlah kalian mengkhianati amanah-amanah yang dipercayakan kepada kalian.”
Amanah dan janji yang dimaksud ini mencakup seluruh amanah dan janji yang dipercayakan kepada manusia, baik dari Tuhannya maupun dari sesama manusia, seperti pelaksanaan taklif-taklif  syari’ah, titipan harta dan pelaksanaan berbagai akad.
7. Menjaga shalat (والذين هم على صلواتهم يحافظون)
Yaitu melaksanakannya dengan sebaik-baiknya, sempurna rukun dan syaratnya serta mengerjakannya sesuai waktunya. Diriwayatkan dalam Shahihayn, Ibn Mas’ud radhiyallahu ‘anhu bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘يا رسول الله، أي العمل أحب إلى الله؟’, kemudian Rasulullah menjawab, ‘الصلاة على وقتها’, Ibn Mas’ud bertanya lagi, ‘kemudian apa?’, Rasulullah menjawab, ‘بر الوالدين’, Ibn Mas’ud bertanya lagi, ‘kemudian apa?’, Rasulullah menjawab, ‘الجهاد في سبيل الله’.
Allah subhanahu wa ta’ala membuka penyebutan sifat-sifat orang yang beruntung di surah al-Mu’minuun ini dengan shalat, dan menutupnya juga dengan shalat. Ini menunjukkan teramat besarnya keutamaan ibadah ini. Hal ini juga ditunjukkan oleh Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam riwayat Ahmad, Ibn Majah, al-Hakim, dan al-Baihaqi dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu berikut ini:
استقيموا ولن تحصوا، واعلموا أن خير أعمالكم الصلاة، ولا يحافظ على الصلاة إلا مؤمن
Artinya: “Istiqamahlah kalian, dan jangan menghitung-hitungnya, dan ketahuilah bahwa sebaik-baiknya amal kalian adalah shalat, dan tidak ada yang menjaga shalat kecuali seorang mukmin.”
Setelah menyebutkan sifat-sifat orang yang beruntung di atas, Allah ta’ala menyebutkan pahala untuk mereka, yang terekam dalam surah al-Mu’minuun ayat 10 dan 11.
أولئك هم الوارثون، الذين يرثون الفردوس هم فيها خالدون
Artinya: “Mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi, yaitu orang-orang yang mewarisi Firdaus, mereka kekal di dalamnya.”
Allah menetapkan balasan berupa surga Firdaus bagi orang-orang yang memiliki sifat-sifat terpuji yang telah disebutkan sebelumnya. Dalam Shahihayn, diriwayatkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang surga Firdaus:
إذا سألتم الله الجنة، فاسألوه الفردوس، فإنه أعلى الجنة وأوسط الجنة، ومنه تفجر أنهار الجنة، وفوقه عرش الرحمن
Artinya: “Jika kalian meminta balasan surga kepada Allah, maka mintalah Firdaus. Karena ia adalah surga yang tertinggi dan pusatnya surga, darinya terpancar sungai-sungai di surga, dan di atasnya adalah ‘arsy dari ar-Rahman.”
Subhanallah. Semoga Allah ta’ala memudahkan dan memberi taufiq kepada kita agar memiliki sifat-sifat yang terpuji di atas.

Totalitas Dalam Islam

Masyarakat Indonesia, walaupun sebagian besar beragama Islam, namun hanya sebagian kecil dari mereka yang berislam secara total. Sebagian besarnya mencampur adukkan Islam dengan berbagai adat istiadat yang sangat tidak Islami. Dengan justifikasi bahwa Islam yang berasal dari Arab harus diakulturalisasikan dengan budaya daerah setempat, akhirnya lahirlah Islam kejawen dengan berbagai macam ritual yang tidak Islami. Model Islam seperti ini juga muncul di daerah-daerah lain di Indonesia.
Model keberislaman lain yang juga banyak dianut oleh masyarakat Indonesia adalah hanya menjadikan Islam sebagai agama ritual belaka, tak menganggapnya sebagai panduan bagi seluruh kehidupan manusia. Inilah yang dikenal dengan paham sekulerisme, paham yang memisahkan agama dengan kehidupan.

Pertanyaannya kemudian, bagaimana harusnya keberislaman kita, apakah seperti Islam kultural (untuk menunjukkan ajaran Islam yang dicampur adukkan dengan adat istiadat yang bukan berasal dari Islam) atau Islam sekuler (Islam hanya di masjid dan mushalla, sedangkan di kantor, rumah dan pasar Islam tidak dipakai), atau seperti apa? Untuk menjawab pertanyaan ini, saya akan mengutip penjelasan Imam Ibnu Katsir rahimahullah terhadap surah al-Baqarah ayat 208 dalam kitab Tafsir beliau.
Berikut ayat 208 dari surah al-Baqarah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
Imam Ibnu Katsir mengutip pernyataan dari Ibnu ‘Abbas, Mujahid, Thawus, adh-Dhahhak, ‘Ikrimah, Qatadah, as-Sudi, Ibnu Zaid ketika menafsirkan kata (السلم) mereka sepakat bahwa artinya adalah Islam (الإسلام). Adh-Dhahhak, Ibnu ‘Abbas, Abu al-‘Aliyah dan ar-Rabi’ ibn Anas menafsirkan kata (السلم) dengan keta’atan (الطاعة).
Sedangkan kata (كـافة) diartikan dengan keseluruhan (جميعا). Ini pendapat Ibnu ‘Abbas, Mujahid, Abu al-‘Aliyah, ‘Ikrimah, Rabi’, as-Sudi, Muqatil Ibn Hayyan, Qatadah dan adh-Dhahhak. Kemudian kalimat (و لا تتبعوا خطوت الشيطن) yang biasanya diterjemahkan dengan “dan janganlah kalian ikuti langkah-langkah syaithan”, ditafsirkan oleh Imam Ibnu Katsir dengan “laksanakanlah keta’atan dan jauhilah apa-apa yang diperintahkan syaithan kepada kalian”. Dan syaithan memerintahkan untuk melakukan perbuatan jahat (السوء) dan keji (الفحشاء) sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam surah al-Baqarah ayat 169.
Dalam tafsir surah al-Baqarah ayat 168, Imam Ibnu Katsir mengutip perkataan Mujahid dan as-Sudi, yang menafsirkan kalimat (و لا تتبعوا خطوت الشيطن), mereka mengatakan bahwa semua kemaksiatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala merupakan bagian dari langkah-langkah syaithan.
Ayat 208 ini ditutup dengan peringatan dari Allah subhanahu wa ta’ala bahwa syaithan adalah musuh yang nyata bagi kita (إنه لكم عدو مبين). Imam Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsir surah al-Baqarah ayat 168 menegaskan bahwa kita harus berpaling dari syaithan dan waspada terhadapnya.
Dari tafsir surah al-Baqarah ayat 208 ini kita bisa memahami bahwa Allah ‘azza wa jalla memerintahkan kita untuk berislam secara keseluruhan, tidak setengah-setengah. Kita diperintahkan untuk ta’at kepada seluruh aturan Allah subhanahu wa ta’ala baik berupa perintah yang harus kita laksanakan maupun larangan yang harus kita tinggalkan, dalam seluruh aspek kehidupan, inilah yang dimaksud dengan kalimat (ادخلوا في السلم كـافة).
Kemudian Allah juga memperingatkan kita untuk menjauhi langkah-langkah syaithan, yaitu berupa seluruh kemaksiatan kepada Allah ‘azza wa jalla. Yang dimaksud dengan kemaksiatan adalah meninggalkan segala kewajiban yang diperintahkan Allah subhanahu wa ta’ala bagi kita atau melakukan hal-hal yang dilarang oleh-Nya. Acuannya adalah al-Qur’an dan as-Sunnah, bukan pendapat masyarakat.
*****

Timbangan di Hari Kiamat

Aqidah Islamiyah telah meyakinkan kita bahwa kehidupan di dunia bukanlah fase kehidupan terakhir bagi manusia. Ada kehidupan setelah kehidupan dunia yang kekal abadi. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
يأيها الذين ءامنوا اتقوا الله ولتنظر نفس ما قدمت لغد ، واتقوا الله ، إن الله خبير بما تعملون
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan.” (QS. Al-Hasyr [59]: 18)
Allah subhanahu wa ta’ala juga telah berfirman:
وعد الله المنفقين والمنفقت والكفار نار جهنم خلدين فيها ، هي حسبهم ، ولعنهم الله ، ولهم عذاب مقيم
Artinya: “Allah menjanjikan neraka jahannam bagi orang-orang munafik laki-laki dan perempuan serta orang-orang kafir, mereka kekal di dalamnya. Cukuplah neraka itu bagi mereka, dan Allah melaknati mereka, dan bagi mereka azab yang kekal.” (QS. At-Taubah [9]: 68)

‘Aqidah Islamiyah pun telah meyakinkan kita bahwa Allah akan menunjukkan ke-Maha Adil-annya di yaumil aakhir kelak. Tentang hal ini, saya akan sedikit menyampaikan tafsir surah Al-A’raaf ayat 8 dan 9.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
والوزن يومئذ الحق ، فمن ثقلت موزينه فأولئك هم المفلحون . ومن خفت موزينه فأولئك الذين خسروا أنفسهم بما كانوا بأيتنا يظلمون
Artinya: “Timbangan pada hari itu ialah haqq, maka barangsiapa berat timbangannya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung. Dan barangsiapa yang ringan timbangannya, maka mereka itulah orang-orang yang merugikan dirinya sendiri, disebabkan mereka selalu mengingkari ayat-ayat Kami.” (QS. Al-A’raaf [7]: 8-9)
Dalam tafsir al-Qurthubi, Imam al-Qurthubi mengutip pernyataan dari adh-Dhahhak dan al-A’masy, menafsirkan kata al-wazn dengan al-‘adl dan al-qadha. Maksudnya, pada hari kiamat keadilan (al-‘adl) dan peradilan (al-qadha) Allah ta’ala itu benar adanya. Pendapat ini senada dengan pendapat Mujahid (lihat tafsir Ibnu Abi Hatim).
Imam Ibnu Katsir menjelaskan bahwa timbangan (al-wazn) tersebut adalah atas amal perbuatan manusia. Maksudnya, Allah akan mengukur amal perbuatan manusia di dunia ketika hari kiamat. Ini sejalan dengan pendapat yang mengatakan bahwa al-wazn itu adalah peradilan (al-qadha). Dari sini bisa kita pahami bahwa Allah akan menimbang amal perbuatan manusia di dunia, apakah ketika di dunia ia menjalankan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya atau malah sebaliknya.
Imam Ibnu Katsir juga menjelaskan bahwa makna al-haqq adalah Allah ta’ala tidak menzhalimi siapapun. Berbeda dengan peradilan di dunia, peradilan Allah di hari akhir akan sangat adil dan tidak menzhalimi siapapun. Yang taat akan mendapat kebahagiaan, yang kufur dan pelaku maksiat besar akan mendapat siksa.
Imam Mujahid menjelaskan frase “faman tsaqulat mawaaziinuh” yang artinya “maka barangsiapa yang berat timbangannya” maksudnya adalah yang berat timbangan kebaikannya. Jadi frase ini adalah untuk orang-orang yang lebih banyak amal shalihnya dibanding amal salahnya.
Fa-ulaaika humul muflihuun, artinya merekalah orang-orang yang beruntung. Dan, keberuntungan di hari akhir adalah keridhaan Allah dan surga. Ibnu ‘Abbas menjelaskan frase ini dengan kalimat, “yaitu orang-orang yang mendapatkan apa yang mereka inginkan, dan selamat dari keburukan yang ingin mereka hindari” (silakan lihat di tafsir Ibnu Abi Hatim). Semoga Allah memasukkan kita ke dalam golongan orang-orang yang beruntung.
Lalu, bagi orang-orang yang ringan timbangan kebaikannya, mereka telah merugikan diri mereka sendiri. Maksudnya adalah orang-orang yang lebih banyak maksiatnya dibanding taatnya. Dalam surah al-Mu’minuun ayat 103, Allah dengan sangat jelas menyatakan bahwa orang-orang yang ringan timbangan kebaikannya akan kekal di jahannam.
ومن خفت موزينه فأولئك الذين خسروا أنفسهم في جهنم خلدون
Konteks surah al-Mu’minuun ayat 103 diatas adalah terhadap orang-orang kafir, sedangkan terhadap muslim yang ringan timbangan kebaikannya, mereka juga akan mendapatkan kerugian berupa siksa neraka, walaupun tak kekal seperti orang-orang kafir. Wallahu a’lam.
Mengapa mereka disiksa? Allah menyatakan, bimaa kaanuu biaayaatinaa yazhlimuun. Kata yazhlimuun, dalam tafsir al-Jalalayn, ditafsirkan dengan yajhaduun yang artinya mengingkari. Artinya, mereka disiksa karena keingkaran mereka terhadap ayat-ayat Allah subhanahu wa ta’ala dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Wallahu a’lam.
Semoga kita tidak termasuk orang-orang yang mengingkari ayat-ayat-Nya. Mari berusaha menjadi muslim yang taat, beraqidah yang lurus dan beramal shalih dengan mengikuti tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semoga Allah ta’ala memudahkan.

Ciri -ciri Orang bertaqwa

Pada postingan kali ini, saya akan mencoba menyampaikan beberapa ciri orang yang bertakwa berdasarkan surah al-Baqarah ayat 2 sampai 5. Tidak ada tujuan lain dari tulisan ini selain semoga kita bisa mencapai derajat taqwa dengan memahami dan mengamalkan ciri-cirinya.
Ayat ke-2 surah al-Baqarah menunjukkan peran Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa.
ذلك الكتب لا ريب فيه ، هدى للمتقين
Al-Kitab yang dimaksud adalah Al-Qur’an (silakan lihat tafsir Ibnu Katsir dan al-Baghawi. Dalam tafsir Ibnu Abi Hatim diriwayatkan bahwa al-Hasan dan Ibnu ‘Abbas juga menafsirkan al-Kitab yang dimaksud dalam ayat ini adalah Al-Qur’an).

Laa rayba fiih artinya tidak ada keraguan sedikitpun padanya bahwa Al-Qur’an ini berasal dari sisi Allah dan Al-Qur’an ini adalah haqq dan benar (lihat tafsir al-Baghawi). Pengertian ini sudah disepakati oleh para mufassir, baik dari kalangan shahabat maupun tabi’in (lihat tafsir Ibnu Katsir dan tafsir Ibnu Abi Hatim). Dari sini bisa kita pahami bahwa Al-Qur’an benar-benar berasal dari Allah, Tuhan pencipta alam semesta termasuk manusia. Apakah akal kita bisa mencapai kesimpulan bahwa Al-Qur’an benar-benar kalamullah? Jawabannya bisa. Silakan baca penjelasan lengkapnya di kitab Nizhamul Islam karya Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah (bagi yang ingin memiliki ebook ini, silakan download versi Arabnya disini dan versi terjemah Indonesianya disini).
Dari ayat ini kita juga bisa pahami bahwa isi Al-Qur’an adalah haq, semuanya merupakan kebenaran, walaupun maknanya ada yang qath’i (jelas dan hanya menunjuk satu makna) ada yang zhanni (perlu usaha yang keras untuk memahami maknanya, disinilah peran mufassir). Ayat ini sangat cukup sebagai hujjah untuk menunjukkan hukum Al-Qur’an adalah hukum yang terbaik bagi manusia. Mengapa? Pertama, karena Al-Qur’an merupakan kalamullah, firman Allah, Tuhan pencipta manusia yang tahu tetek bengek tentang manusia melebihi pengetahuan manusia sendiri. Kedua, karena semua isi Al-Qur’an adalah kebenaran, artinya semua yang bertentangan dengan Al-Qur’an adalah salah, dan hukum buatan manusia sekarang secara mendasar bertentangan dengan Al-Qur’an.
Hudan(l) lil muttaqin, petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa. Petunjuk apa? Petunjuk dari kesesatan, demikian menurut asy-Sya’bi (lihat tafsir Ibnu Abi Hatim). Artinya, Al-Qur’an adalah kompas agar setiap orang tidak terjatuh pada kesesatan. Ada juga yang mengartikan hudan sebagai nur (cahaya) tibyan (penjelasan). Ibnu Katsir menyatakan semua tafsir ini benar. Dalam ayat ini Allah mengkhususkan hudan hanya bagi orang-orang yang bertakwa sebagai penghormatan dan pemuliaan bagi mereka serta penjelasan atas keutamaan mereka, demikian menurut Abu Rauq dalam tafsir al-Qurthubi. Menurut Hasan al-Bashri, definisi muttaqin adalah orang-orang yang menjauhi hal-hal yang diharamkan Allah atas mereka dan menjalankan semua yang diwajibkan atas mereka (lihat tafsir Ibnu Katsir).
Disini perlu saya tambahkan, walaupun dari ayat ini dipahami bahwa Al-Qur’an adalah petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa saja, namun berdasarkan ayat-ayat lain (misal surah al-Baqarah ayat 185), jelas Al-Qur’an adalah petunjuk bagi seluruh manusia, tentu bagi yang mau menerima petunjuk tersebut.
Baik, sekarang kita masuk ke ayat ke-3 yang menunjukkan ciri-ciri orang yang bertaqwa.
الذين يؤمنون بالغيب ويقيمون الصلوة ومما رزقنهم ينفقون
Ciri pertama, yu’minuuna bil ghaib, beriman terhadap yang ghaib. Menurut Ibnu ‘Abbas, yu’minuun artinya yushdiquun (membenarkan). Abu al-‘Aliyah menjelaskan makna yu’minuuna bil ghaib artinya beriman kepada Allah, Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, Hari Akhir, surga-Nya, Neraka-Nya dan pertemuan dengan-Nya, serta beriman dengan kehidupan setelah kematian dan Hari Kebangkitan. ‘Atha menyatakan barangsiapa beriman kepada Allah maka sesungguhnya dia telah beriman kepada yang ghaib. Ibnu ‘Abbas menyatakan bahwa bil ghaib maknanya terhadap apa saja yang datang dari Allah. Zaid ibn Aslam menyatakan bil ghaib artinya bil qadr (ketentuan Allah). Menurut Ibnu Katsir, semua yang disebutkan ulama salaf diatas adalah benar, dan makna ghaib mencakup semuanya (lihat tafsir Ibnu Katsir). Dari ciri pertama ini bisa kita pahami bahwa ciri orang yang bertaqwa adalah orang-orang yang beriman terhadap semua hal ghaib yang diinformasikan oleh Allah ta’ala dalam al-Qur’an al-Karim dan as-Sunnah al-Mutawatirah.
Ciri kedua, yuqiimuunash shalah, mendirikan shalat. Mendirikan shalat menurut Ibnu ‘Abbas maksudnya adalah mendirikan shalat dengan semua fardhunya. Sedangkan menurut Qatadah, mendirikan shalat artinya memelihara waktu-waktunya, wudhu, ruku’ dan sujudnya. Muqatil ibn Hayyan menjelaskan definisi mendirikan shalat adalah menjaga waktu-waktunya, menyempurnakan thaharah, menyempurnakan ruku’ dan sujudnya, membaca Al-Qur’an didalamnya, serta bertasyahud dan membaca shalawat atas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (lihat tafsir Ibnu Abi Hatim). Dari penjelasan para mufassir diatas, bisa kita simpulkan bahwa yuqiimuunash shalah artinya mendirikan shalat dengan melaksanakan semua rukunnya dan menyempurnakannya dengan semua sunnah sejak thaharah sampai selesai shalat. Inilah ciri ke-2 orang-orang yang bertaqwa.
Ciri ketiga, mimmaa razaqnaahum yunfiquun, menafkahkan sebagian harta yang telah Allah rizkikan kepada mereka. Menurut Ibnu ‘Abbas maksudnya adalah zakat wajib, sedangkan menurut Ibnu Mas’ud maksudnya adalah Nafkah seorang laki-laki pada keluarganya, karena itu adalah afdhalun nafaqah. Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dinar yang engkau nafkahkan fi sabiilillah (maksudnya perang di jalan Allah), dinar yang engkau nafkahkan untuk membebaskan budak, dinar yang engkau shadaqahkan kepada orang miskin, dan dinar yang engkau nafkahkan untuk keluargamu, dari semuanya itu yang pahalanya paling besar adalah yang engkau nafkahkan untuk keluargamu.” (shahih Muslim: 995). Silakan lihat penjelasan hal ini dalam tafsir al-Qurthubi.
Menurut Qatadah, seperti dikutip oleh al-Baghawi dalam tafsirnya, makna yunfiquun adalah yunfiquuna fii sabiilillah wa thaa’atih. Tafsir Qatadah ini cukup luas dan menunjukkan semua nafkah atas harta yang berorientasi ketaatan kepada Allah ta’ala tercakup dalam ayat ini. Berarti ini juga mencakup tafsir dari Ibnu ‘Abbas dan Ibnu Mas’ud tanpa perlu mempertentangkannya. Inilah pendapat yang saya pegang. Wallahu a’lam bishshawwab.
Mari kita masuk ke ayat ke-4 dari surah al-Baqarah.
والذين يؤمنون بما أنزل إليك وما أنزل من قبلك وبالأخرة هم يوقنون
Ciri keempat, alladziina yu’minuuna bimaa unzila ilayka wa maa unzila min(g) qablik, beriman terhadap kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kepada Rasul-rasul sebelum beliau. Apa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Al-Qur’an, tidak ada perbedaan pendapat dalam hal ini. Sedangkan kitab-kitab yang diturunkan sebelum Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, Qatadah menyebutkan ia adalah Taurat, Zabur dan Injil (lihat Tafsir Ibnu Abi Hatim). Ibnu ‘Abbas berkata tentang maksud dari alladziina yu’minuuna bimaa unzila ilayka wa maa unzila min(g) qablik, adalah membenarkan apa yang datang kepadamu (wahai Muhammad, yaitu Al-Qur’an) berasal dari Allah, dan membenarkan kitab-kitab yang ada pada Rasul-rasul sebelummu, mereka tidak membedakan kitab-kitab tersebut dan tidak mengingkari bahwa semua kitab tersebut datang dari rabb mereka.
Tambahan dari saya, bagi kita umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, kita wajib membenarkan semua kitab yang diturunkan Allah kepada para Rasul sebelum Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik secara umum maupun spesifik pada kitab-kitab yang jelas disebutkan dalam al-Qur’an, seperti Taurat, Zabur dan Injil, namun kita hanya wajib mengikuti syariat yang ada di dalam Al-Qur’an sedangkan syariat pada kitab-kitab sebelum Al-Qur’an tidak berlaku bagi kita.
Ciri kelima, bil aakhirati hum yuuqinuun, yakin dengan adanya akhirat. Menurut Ibnu ‘Abbas, maksud aakhirah adalah ba’ts, qiyaamah, surga, neraka, hisab dan mizan (lihat tafsir Ibnu Abi Hatim). Makna al-yaqiin adalah al-‘ilmu duuna asy-syakk (pengetahuan tanpa ada keraguan sedikitpun), demikian menurut al-Qurthubi. Dari sini kita bisa pahami, orang yang bertaqwa adalah orang yang yakin 100% akan adanya hari akhir, hari kebangkitan kembali seluruh manusia dan hari perhitungan seluruh amal manusia di dunia, apakah seseorang akan berada di surga ataukah di neraka. Keyakinan ini tentu akan menghasilkan ketaatan kepada seluruh perintah Allah ta’ala.
Inilah 5 ciri orang yang bertaqwa yang disebutkan di awal surah al-Baqarah. Dalam ayat-ayat lain dan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga disebutkan ciri-ciri lain dari orang yang bertaqwa, insya Allah, dengan izin Allah, nanti juga akan saya postingkan di blog ini. Semoga kita menjadi orang-orang yang bertaqwa. Amiin ya rabbal ‘aalamiin.
Sebagai penutup, mari kita simak ayat ke-5 dari surah al-Baqarah.
أولئك على هدى من ربهم وأولئك هم المفلحون
Mereka (orang-orang yang disebutkan dalam al-Baqarah ayat 3 dan 4), tetap berada dalam hudan dari rabb mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung. ‘Alaa hudan, artinya nuur, bayaan dan bashiirah dari Allah ta’ala, demikian menurut Ibnu Katsir. Sedangkan menurut al-Baghawi, ‘alaa hudan artinya rusyd, bayan dan bashiirah. Semuanya menunjukkan bahwa mereka berada dalam keutamaan dan selalu mendapatkan petunjuk dari Allah ta’ala. Wa uulaaika humul muflihuun, artinya mereka memperoleh apa yang mereka inginkan dan selamat dari keburukan yang ingin mereka hindari, demikian menurut Ibnu ‘Abbas (lihat tafsir Ibnu Abi Hatim). Menurut al-Baghawi, maksudnya adalah selamat dan berhasil, berhasil mendapatkan surga dan selamat dari api neraka. Inilah ganjaran bagi orang-orang yang bertaqwa dengan 5 ciri yang telah disebutkan diatas. Semoga kita mendapatkan kedudukan yang mulia ini dengan rahmat dari Allah subhanahu wa ta’ala.