Minggu, 06 November 2011

Doa Penutup Majelis Menghapus Dosa Majelis




Salah satu ciri utama orang bertaqwa ialah semangatnya untuk memohon ampun kepada Allah. Ia sangat menyadari jika dirinya sebagaimana manusia lainnya tidak luput dari dosa dan kesalahan. Maka Muttaqin senantiasa mencari jalan untuk selalu diampuni segenap dosanya oleh Allah. Bila ia tahu ada suatu amal-perbuatan yang dapat menghapus dosanya maka dengan segera ia akan kerjakan bila ia sanggup.



“Dan (Muttaqin juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.” (QS Ali Imran ayat 135)



Bila manusia sedang berkumpul biasanya mereka tidak lepas dari pembicaraan satu sama lain. Setiap kali manusia berkumpul lalu terlibat dalam suatu pembicaraan maka itu merupakan sebuah majelis. Setiap kali orang berkumpul banyak sekali hal yang bisa mereka bicarakan. Pembicaraan bisa berkisar dari hal-hal bermanfaat hingga hal-hal yang tidak bermanfaat.

Islam sebagai ajaran yang bersumber dari Allah Yang Maha Tahu dan Maha Mendengar sangat memperhatikan masalah majelis. Islam tidak membenarkan sekumpulan orang terlibat dalam pembicaraan yang sia-sia apalagi mengandung dusta dan kebatilan. Sehingga Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam mengkaitkan masalah kualitas pembicaraan seseorang dengan keimanan kepada Allah dan Hari Akhir.


Bersabda Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam: “Barangsiapa beriman kpd Allah dan Hari Akhir hendaklah bicara yang baik atau diam.” (HR Bukhari-Muslim)

Dalam suatu kesempatan Nabi shollallahu ’alaih wa sallam memberi nasihat sorang sahabat mengenai pentingnya menjaga lisan dari perkataan yang sia-sia apalagi munkar.


Dari Sufyan Abdullah Ats-Tsaqafy radhiyallahu ’anhu ia berkata: ”Aku berkata: “Ya Rasulullah, beritahukan kepadaku tentang sesuatu yang harus aku pelihara.” Beliau menjawab: “Katakanlah: ‘Rabbku Allah kemudian beristiqamahlah’.” Aku kembali bertanya: “Ya Rasulullah, apa yang engkau paling khawatirkan terhadap diriku?” Beliau lalu memegang lidahnya sendiri dan bersabda: “Ini (lisan)”. (HR Tirmidzi 2334)



Oleh sebab itu Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam mengajarkan ummatnya agar senantiasa mengakhiri setiap majelis –apapun bentuk majelisnya- dengan membaca do’a kaffaratul-majelis atau do’a penutup majelis. Sebab dengan demikian maka dosa-dosa pembicaraan yang dilakukan –sengaja maupun tidak- di dalam majelis tersebut akan dihapus oleh Allah melalui do’a tersebut.



Dari Abu Barzah Al-Aslami radhiyallahu ’anhu ia berkata: “Jika Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam hendak bangun dari suatu majelis beliau membaca: Subhanakallahumma wabihamdika asyhadu allaa ilaaha illa anta astaghfiruka wa atuubu ilaika “Maha Suci Engkau ya Allah dan segala puji bagiMu, aku bersaksi bahwa tiada ilah selain Engkau aku mohon ampun dan bertaubat kepadaMu". Seorang sahabat berkata: “Ya Rasulullah, engkau telah membaca bacaan yang dahulu tidak biasa engkau baca?” Beliau menjawab: “Itu sebagai penebus dosa yang terjadi dalam sebuah majelis.” (HR Abu Dawud 4217)


Sumber : http://www.eramuslim.com/suara-langit/ringan-berbobot/doa-penutup-majelis-menghapus-dosa-majelis.htm

Meraih Pahala dari Fitnah Harta dan Anak

Meraih Pahala dari Fitnah Harta dan Anak


Kirim Print
”Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu adalah fitnah dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (Al-Anfal: 28)

Terdapat dua ayat di dalam Al-Qur’an yang menyebut harta dan anak sebagai fitnah, yaitu surah Al-Anfal ayat 28 dan surah At-Taghabun ayat 15, “Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu adalah fitnah (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar”. Perbedaannya: pada surah Al-Anfal, Allah menggunakan redaksi pemberitahuan “ketahuilah”, sedangkan pada surah At-Taghabun menggunakan redaksi penegasan “sesungguhnya”. Namun ungkapan yang mengakhiri kedua ayat tersebut sama, yaitu “di sisi Allah-lah pahala yang besar”. Sehingga bisa dipahami bahwa fitnah harta dan anak bisa menjerumuskan ke dalam kemaksiatan, namun di sisi lain justru bisa menjadi peluang meraih pahala yang besar dari Allah swt. Dan makna yang kedua itulah yang dikehendaki oleh Allah, sehingga Allah mengingatkannya di akhir ayat yang berbicara tentang fitnah anak dan harta “dan di sisi Allah-lah pahala yang besar”.

Fitnah dalam kedua ayat ini bukan dalam arti Bahasa Indonesia, yaitu setiap perkataan yang bermaksud menjelekkan orang, seperti menodai nama baik atau merugikan kehormatannya. Tetapi fitnah yang dimaksud dalam konteks harta dan anak seperti yang dikemukakan oleh Asy-Syaukani adalah bahwa keduanya dapat menjadi sebab seseorang terjerumus dalam banyak dosa dan kemaksiatan, demikian juga dapat menjadi sebab mendapatkan pahala yang besar. Inilah yang dimaksud dengan ujian yang Allah uji pada harta dan anak seseorang. Fitnah di sini juga dalam arti bisa menyibukkan atau memalingkan dan menjadi penghalang seseorang dari mengingat dan mengerjakan amal taat kepada Allah, seperti yang digambarkan oleh Allah tentang orang-orang munafik sehingga Dia menghindarkan orang-orang beriman dari kecenderungan ini dalam firman-Nya, “Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi”. (Al-Munafiqun: 9). Rasulullah saw juga menyebut kedua kemungkinan ini dalam hadits Aisyah ra ketika beliau memeluk seorang bayi, ”Sungguh mereka (anak-anak) dapat menjadikan seseorang kikir dan pengecut, dan mereka juga adalah termasuk dari haruman Allah swt”.

Fitnah anak dalam arti bisa mengganggu dan menghentikan aktivitas seseorang pernah dirasakan juga oleh Rasulullah saw. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dan Abu Daud dari Abu Buraidah bahwa ketika Rasulullah saw sedang menyampaikan khutbahnya kepada kami, tiba-tiba lewatlah kedua cucunya Hasan dan Husein mengenakan baju merah sambil berlari dan saling kejar mengejar. Begitu melihat kedua cucunya, Rasulullah kontan turun dari mimbar dan mengangkat keduanya seraya mengatakan, ”Maha Benar Allah dengan firman-Nya, ”Sesungguhnya harta dan anak-anak kamu adalah fitnah”. Aku tidak sabar melihat keduanya sampai aku menghentikan ceramahku dan mengangkat keduanya”. Dalam konteks ini, Ibnu Mas’ud mengajarkan satu doa yang tepat tentang harta dan anak. Beliau mengungkapkan, ”Janganlah kalian berdoa, dengan doa ini, ”Ya Allah, lindungilah kami dari fitnah”. Karena setiap kalian ketika pulang ke rumah akan mendapati harta, anak dan keluarganya bisa mengandungi fitnah, tetapi katakanlah, ”ya Allah aku berlindung kepada engkau dari fitnah yang menyesatkan”.

Secara korelatif tentang fitnah harta dan anak dalam surah At-Taghabun, Imam Ar-Razi dalam At-Tafsir Al-Kabir menyebutkan, karena anak dan harta merupakan fitnah, maka Allah memerintahkan kita agar senantiasa bertaqwa dan taat kepada Allah setelah menyebutkan hakikat fitnah keduanya, ”Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu. Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung”. (At-Taghabun: 16). Apalagi pada ayat sebelumnya, Allah menegaskan akan kemungkinan sebagian keluarga berbalik menjadi musuh bagi seseorang, ”Hai orang-orang mukmin, sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (At-Taghabun: 14)

Sedangkan tentang fitnah harta dan anak dalam surah Al-Anfal, Sayyid Quthb menyebutkan korelasinya dengan tema amanah ”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui”. (Al-Anfal: 27), bahwa harta dan anak merupakan objek ujian dan cobaan Allah swt yang dapat saja menghalang seseorang menunaikan amanah Allah dan Rasul-Nya dengan baik. Padahal kehidupan yang mulia adalah kehidupan yang menuntut pengorbanan dan menuntut seseorang agar mampu menunaikan segala amanah kehidupan yang diembannya. Maka melalui ayat ini Allah swt ingin memberi peringatan kepada semua khalifah-Nya agar fitnah harta dan anak tidak melemahkannya dalam mengemban amanah kehidupan dan perjuangan agar meraih kemuliaan hidup di dunia dan di akhirat. Dan inilah titik lemah manusia di depan harta dan anak-anaknya. Sehingga peringatan Allah akan besarnya fitnah harta dan anak diiringi dengan kabar gembira akan pahala dan keutamaan yang akan diraih melalui sarana harta dan anak.

Lebih jauh, korelasi ayat di atas dapat ditemukan dalam beberapa ayat yang lain. Al-Qurthubi misalnya, menemukan korelasinya dengan surah Al-Kahfi: 46 yang bermaksud, “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan”, bahwa harta kekayaan dan anak wajar menjadi perhiasan dunia yang menetramkan pemiliknya karena pada harta ada keindahan dan manfaat, sedangkan pada anak ada kekuatan dan dukungan. Namun demikian kedudukan keduanya sebagai perhiasan dunia hanyalah bersifat sementara dan bisa menggiurkan serta menjerumuskan. Maka sangat tepat jika ayat “Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu adalah fitnah (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar. (At-Taghabun: 15) dan ayat “Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi”.(Al-Munafiqun: 9) menjadi pengingat jika kemudian terjadi harta dan anak justru menjauhkan pemiliknya dari Allah swt.

Berbeda dengan At-Thabari, ia memahami korelasi kontradiktif ayat ini dengan surah Ali Imran ayat 38, “Di sanalah Zakaria berdoa kepada Tuhannya seraya berkata: “Ya Tuhanku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa”. Menurut Ath-Thabari, secara tekstual ayat ini bisa dipahami bertentangan dengan ayat yang memberi peringatan akan kemungkinan bahaya dan fitnah yang ditimbulkan dari harta dan anak. Padahal nabi Zakaria sendiri berdoa agar dikaruniakan keturunan yang banyak. Maka pemahaman yang cenderung kontradiktif ini diluruskan sendiri oleh Ath-Thabari dengan mengemukakan bahwa anak yang di pohon oleh Zakaria adalah anak keturunan yang shaleh yang bisa memberi manfaat di dunia dan akhirat. Sedangkan yang dikhawatirkan adalah kriteria harta dan anak yang justru melalaikan dari mengingat Allah swt seperti yang Allah tegaskan dalam salah satu firman-Nya, “Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi”. (Al-Munafiqun: 9). Dalam konteks ini, Nabi Muhammad sendiri pernah mendoakan harta dan anak yang banyak kepada sahabat Anas bin Malik ra, “Ya Allah perbanyaklah untuknya harta dan anak, dan berkahilah setiap apa yang Engkau anugerahkan kepadanya”.

Demikian keseimbangan yang diajarkan oleh Allah swt dalam menyikapi fitnah harta dan anak yang menduduki posisi tertinggi dari titik lemah manusia. Harta dan anak memiliki potensi yang sama dalam menghantarkan kepada kebaikan atau menjerumuskan seseorang kepada dosa dan kemaksiatan. Sudah sepantasnya peringatan Allah dalam konteks fitnah harta dan anak senantiasa yang sering kita ingat karena hanya peringatan Allah yang mencerminkan kasih sayang-Nya yang layak untuk diingat, “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”. (At-Tahrim:6).