Kamis, 13 Oktober 2011

Efektivitas Tasyakuran Calon Haji

Efektivitas Tasyakuran Calon Haji



DALAM beberapa hari ini kita akan melihat, bahkan terlibat, dalam kegiatan tasyakuran keberangkatan calon haji. Tradisi setengah ritual yang biasanya dilakukan oleh mayoritas muslim tradisional di Jateng itu, sebagaimana di provinsi lain, merupakan salah satu ciri khas Islam Nusantara. Di Arab Saudi, tasyakuran kepulangan haji (bukan keberangkatan calon haji atau calhaj) dikenal dengan ‘asyaa-ul hajj (dinner hajj, mengombinasikan Bahasa Inggris dengan Arab).

Sebenarnya, tasyakuran (calon) haji yang juga disebut dengan terma walimatul safar tidak dikenal dalam diskursus yurispendensi Islam (fikih).
Acara yang telah menjadi semacam al-urf (adat) itu lebih mendekati produk analogi ritual al-naqi’ah, yaitu jamuan makan bersama yang diadakan seseorang yang pulang dari bepergian.

Dasar al-naqi’ah dapat dilihat dalam HR Bukhari: 2923. Mazhab Syafi’i dalam Hasyiyah al-Qalyubi menyebutkan al-naqi’ah mustahab (sangat dianjurkan) bagi mereka yang pulang dari menunaikan ibadah haji, dan bukan saat keberangkatan ke Tanah Suci. Tujuannya agar menjadi media berbagi pengalaman.

Terlepas dari pro dan kontra mengenai hukum dan teknis pelaksanaannya, saya sepakat bahwa motivasi awal penyelenggaraan tasyakuran keberangkatan haji itu bervariasi.
Di antaranya, berbagi kebahagiaan atas nikmat-Nya, men-support mereka yang belum berniat berhani, sebagai ritual permohonan keselamatan bagi calon haji, serta media silaturahmi dan pamitan.

Namun realitasnya, praktik tasyakuran kadang melenceng dari anjuran Islam tentang arti kesederhanaan dan makna rendah hati. Tak sedikit yang menjadikan kegiatan tersebut sebagai ajang prestise dan mengekspresikan hedonisme. Bahkan biaya mengadakan kegiatan itu ada yang jauh lebih besar dari ONH itu sendiri.
Bukankah ini bentuk dari pemborosan dan wujud kesombongan yang jelas-jelas dilarang oleh Islam? Tidakkah uang sebanyak itu lebih bermanfaat jika disedekahkah kepada mereka yang lebih membutuhkan, seperti fakir miskin dan yatim piatu, daripada didistribusikan dalam bentuk konsumsi kepada mereka, yang notabene berkecukupan, bahkan berlebih? Inilah salah satu contoh ironisme sebagian muslim di lingkungan kita yang muaranya kontraproduktif.

Jalan Tengah

Di satu sisi, kita ingin mengamalkan firman,’’ Dan terhadap nikmat Tuhanmu hendaklah kamu siarkan’’, tetapi di sisi lain secara bersamaan kita melanggar ayat, “Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebihan” dan ‘’Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong, lagi membanggakan diri.’’
Menyikapi ekses motivasi tasyakuran haji yang berlebihan itu, selayaknya kita introspeksi, sejauh mana dampak positif kegiatan tersebut pada substansi ibadah.
Karena realitasnya, motivasi yang berlebihan dapat menyebabkan orang tidak sensitif lagi terhadap kondisi sekitar. Ingat, yang terjadi di sebagian masyarakat belakangan ini adalah makin tinggi gengsi seorang calon haji maka makin mewah tasyakuran digelar. Penceramahnya pun disesuaikan dengan ‘’kelas’’ kegiatan itu.
Merespons fenomena tasyakuran haji, sebaiknya kita menghadapinya dengan bijak. Jangan sampai terjebak dikotomi, antara seolah-olah mewajibkan dan seakan-akan mengharamkan.

Mereka yang seolah-olah mewajibkan, beranggapan bahwa tasyakuran merupakan rangkaian yang tak terpisahkan dari manasik.
Adapun mereka yang seakan-akan mengharamkan, berasumsi bahwa momentum tersebut adalah negatif.
Menyikapi dikotomi tersebut, seyogianya kita mengambil jalan tengah, yaitu boleh menyelenggarakan namun sesederhana mungkin, dalam ukuran umum.
Persoalannya bila kita menolak menyelenggarakan tasyakuran itu sebagai media pamitan, sebagaimana budaya timur, tidak menutup kemungkinan kita dicap sebagai orang bakhil dan riya’. Semoga kita menjadi insan yang proporsional dalam menyikapi perbedaan penyelenggaraan tasyakuran haji. (10)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar