Senin, 19 Desember 2011

Totalitas Dalam Islam

Masyarakat Indonesia, walaupun sebagian besar beragama Islam, namun hanya sebagian kecil dari mereka yang berislam secara total. Sebagian besarnya mencampur adukkan Islam dengan berbagai adat istiadat yang sangat tidak Islami. Dengan justifikasi bahwa Islam yang berasal dari Arab harus diakulturalisasikan dengan budaya daerah setempat, akhirnya lahirlah Islam kejawen dengan berbagai macam ritual yang tidak Islami. Model Islam seperti ini juga muncul di daerah-daerah lain di Indonesia.
Model keberislaman lain yang juga banyak dianut oleh masyarakat Indonesia adalah hanya menjadikan Islam sebagai agama ritual belaka, tak menganggapnya sebagai panduan bagi seluruh kehidupan manusia. Inilah yang dikenal dengan paham sekulerisme, paham yang memisahkan agama dengan kehidupan.

Pertanyaannya kemudian, bagaimana harusnya keberislaman kita, apakah seperti Islam kultural (untuk menunjukkan ajaran Islam yang dicampur adukkan dengan adat istiadat yang bukan berasal dari Islam) atau Islam sekuler (Islam hanya di masjid dan mushalla, sedangkan di kantor, rumah dan pasar Islam tidak dipakai), atau seperti apa? Untuk menjawab pertanyaan ini, saya akan mengutip penjelasan Imam Ibnu Katsir rahimahullah terhadap surah al-Baqarah ayat 208 dalam kitab Tafsir beliau.
Berikut ayat 208 dari surah al-Baqarah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
Imam Ibnu Katsir mengutip pernyataan dari Ibnu ‘Abbas, Mujahid, Thawus, adh-Dhahhak, ‘Ikrimah, Qatadah, as-Sudi, Ibnu Zaid ketika menafsirkan kata (السلم) mereka sepakat bahwa artinya adalah Islam (الإسلام). Adh-Dhahhak, Ibnu ‘Abbas, Abu al-‘Aliyah dan ar-Rabi’ ibn Anas menafsirkan kata (السلم) dengan keta’atan (الطاعة).
Sedangkan kata (كـافة) diartikan dengan keseluruhan (جميعا). Ini pendapat Ibnu ‘Abbas, Mujahid, Abu al-‘Aliyah, ‘Ikrimah, Rabi’, as-Sudi, Muqatil Ibn Hayyan, Qatadah dan adh-Dhahhak. Kemudian kalimat (و لا تتبعوا خطوت الشيطن) yang biasanya diterjemahkan dengan “dan janganlah kalian ikuti langkah-langkah syaithan”, ditafsirkan oleh Imam Ibnu Katsir dengan “laksanakanlah keta’atan dan jauhilah apa-apa yang diperintahkan syaithan kepada kalian”. Dan syaithan memerintahkan untuk melakukan perbuatan jahat (السوء) dan keji (الفحشاء) sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam surah al-Baqarah ayat 169.
Dalam tafsir surah al-Baqarah ayat 168, Imam Ibnu Katsir mengutip perkataan Mujahid dan as-Sudi, yang menafsirkan kalimat (و لا تتبعوا خطوت الشيطن), mereka mengatakan bahwa semua kemaksiatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala merupakan bagian dari langkah-langkah syaithan.
Ayat 208 ini ditutup dengan peringatan dari Allah subhanahu wa ta’ala bahwa syaithan adalah musuh yang nyata bagi kita (إنه لكم عدو مبين). Imam Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsir surah al-Baqarah ayat 168 menegaskan bahwa kita harus berpaling dari syaithan dan waspada terhadapnya.
Dari tafsir surah al-Baqarah ayat 208 ini kita bisa memahami bahwa Allah ‘azza wa jalla memerintahkan kita untuk berislam secara keseluruhan, tidak setengah-setengah. Kita diperintahkan untuk ta’at kepada seluruh aturan Allah subhanahu wa ta’ala baik berupa perintah yang harus kita laksanakan maupun larangan yang harus kita tinggalkan, dalam seluruh aspek kehidupan, inilah yang dimaksud dengan kalimat (ادخلوا في السلم كـافة).
Kemudian Allah juga memperingatkan kita untuk menjauhi langkah-langkah syaithan, yaitu berupa seluruh kemaksiatan kepada Allah ‘azza wa jalla. Yang dimaksud dengan kemaksiatan adalah meninggalkan segala kewajiban yang diperintahkan Allah subhanahu wa ta’ala bagi kita atau melakukan hal-hal yang dilarang oleh-Nya. Acuannya adalah al-Qur’an dan as-Sunnah, bukan pendapat masyarakat.
*****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar